Jumat, 14 Oktober 2011

LIGHT FISHING

- 0 komentar
1. Alat Tangkap Purse Seine
Purse seine tergolong dalam alat tangkap jaring lingkar dengan menggunakan tali kerut (purse line) yang terletak di bagian bawah jaring. Dengan adanya tali kerut memungkinkan jaring ditutup seperti pundi-pundi terbalik dan mengurung ikan yang tertangkap. Pukat cincin dapat berukuran sangat besar dan dioperasikan oleh satu atau dua buah kapal. Biasanya purse seine dioperasikan oleh satu kapal dengan atau tanpa bantuan kapal pembantu (Nedelec, 2000).
Menurut Subani dan Barus (1989), purse seine biasa disebut juga dengan jaring kantong karena bentuk jaring tersebut waktu dioperasikan menyerupai kantong. Pukat cincin kadang-kadang juga disebut jaring kolor karena pada bagian bawah jaring (tali ris bawah) dilengkapi dengan tali kolor yang gunanya untuk menyatukan bagian bawah jaring sewaktu operasi dengan cara menarik tali kolor tersebut. Pukat cincin digunakan untuk menangkap ikan yang bergerombol (scholling) di permukaan laut. Oleh karena itu, jenis-jenis ikan yang tertangkap dengan alat tangkap purse seine adalah jenis-jenis ikan pelagis yang hidupnya bergerombol seperti layang, lemuru, kembung, sardinella, tuna. Ikan-ikan yang tertangkap dengan purse seine dikarenakan gerombolan ikan tersebut dikurung oleh jaring sehingga pergerakannya terhalang oleh jaring dari dua arah, baik pergerakan ke samping maupun ke arah dalam.
Bagian-bagian jaring purse seine terdiri atas jaring utama (sayap, badan dan kantong), selvedge, tali ris atas, tali pelampung, pelampung, tali ris bawah, pemberat, tali ring, ring/cincin dan tali kolor. Berdasarkan bentuk jaring utama, purse seine dibagi menjadi 3, yaitu bentuk segi empat, bentuk trapesium dan bentuk lekuk. Pada umumnya penangkapan ikan dengan purse seine dilakukan pada malam hari, akan tetapi ada juga purse seine yang dioperasikan pada siang hari. Pengumpulan ikan pada area penangkapan pukat cincin ada yang menggunakan rumpon dan ada pula yang menggunakan lampu. Umumnya setting (penurunan) dilakukan dua kali selama satu malam operasi, yang dilakukan pada waktu senja hari dan pagi hari/fajar, kecuali dalam keadaan tertentu frekuensi penangkapan bisa dikurangi atau ditambah (Sudirman dan Mallawa, 2004).
Ukuran pukat cincin yang digunakan oleh setiap nelayan umumnya berbeda-beda. Yang dimaksud dengan ukuran umum ini adalah ukuran-ukuran yang berhubungan dengan perbandingan antara panjang dan dalamnya jaring serta nomor-nomor bahan yang dipergunakan. Berbagai macam faktor yang berpengaruh terhadap perbandingan ukuran pada pukat cincin adalah ukuran kapal (panjang dan lebar) yang digunakan, jenis ikan-ikan yang akan tertangkap dan waktu pengoperasian. Pukat cincin yang dioperasikan pada malam hari dengan menggunakan alat bantu cahaya memiliki ukuran panjang lebih kecil bila dibandingkan dengan purse seine pada siang hari. Oleh karena itu, terdapat penggolongan purse seine dalam skala kecil, sedang dan besar. Hal ini mempengaruhi trip penangkapan purse seine di laut, dimana pengoperasian mini purse seine relatif lebih pendek trip penangkapannya bila dibandingkan dengan medium atau large purse seine (Sudirman dan Mallawa, 2004).
2. Perikanan Lampu ( Light Fishing )
Tertariknya ikan pada cahaya sering disebutkan karena terjadinya peristiwa fototaxis. Cahaya merangsang ikan dan menarik ikan untuk berkumpul pada sumber cahaya tersebut atau juga disebutkan karena adanya rangsangan cahaya, ikan kemudian memberikan responnya. Peristiwa ini dimanfaatkan dalam penangkapan ikan yang umumnya disebut light fishing atau dari segi lain dapat juga dikatakan memanfaatkan salah satu tingkah laku ikan untuk menangkap ikan itu sendiri. Dapat juga dikatakan bahwa dalam light fishing, penangkap ikan tidak seluruhnya memaksakan keinginannya secara paksa untuk menangkap ikan tetapi menyalurkan keinginan ikan sesuai dengan nalurinya untuk ditangkap. Fungsi cahaya dalam penangkapan ikan ini ialah untuk mengumpulkan ikan sampai pada suatu catchable area tertentu, lalu penangkapan dilakukan dengan alat jaring ataupun pancing dan alat-alat lainnya (Sudirman dan Mallawa, 2004).
Penggunaan lampu untuk penangkapan ikan di Indonesia dewasa ini telah sangat berkembang, sehingga di tempat-tempat yang terdapat kegiatan perikanan laut, hampir dapat dipastikan terdapat lampu yang digunakan untuk usaha penangkapan ikan. Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian batas optimum kekuatan intensitas cahaya telah menjadi salah satu pokok bagian dari penelitian para ahli biologi laut kelautan. Ayodhyoa (1981) mengatakan agar light fishing dapat memberikan daya guna yang maksimal, maka diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :
ô Mampu mengumpulkan ikan yang berada pada jarak jauh, baik secara horisontal maupun vertikal.
ô Ikan-ikan tersebut diupayakan berkumpul ke sekitar sumber cahaya.
ô Setelah ikan terkumpul, hendaklah ikan-ikan tersebut tetap senang berada dalam area sumber cahaya pada suatu jangka waktu tertentu ( minimum sampai saat alat tangkap mulai beroperasi ).
ô Pada saat ikan-ikan tersebut berkumpul di sekitar sumber cahaya, diupayakan semaksimal mungkin agar ikan-ikan tersebut tidak melarikan diri ataupun menyebarkan diri.
Dilihat dari tempat penggunaannya dapat dibedakan antara lain lampu yang dipergunakan di atas permukaan air dan lampu yang dipergunakan di dalam air. Menurut Ayodhyoa (1976) perbandingan antara lampu yang dipasang di atas permukaan air dengan lampu yang digunakan di bawah permukaan air adalah sebagai berikut :
a. Lampu yang dinyalakan di atas permukaan air :
1. Memerlukan waktu yang lebih lama untuk menarik ikan berkumpul.
2. Kurang efisien dalam penggunaan cahaya, karena sebagian cahaya akan diserap oleh udara, terpantul oleh permukaan gelombang yang berubah-ubah dan diserap oleh air sebelum sampai kesuatu kedalaman yang dimaksud dimana swiming layer ikan tersebut berada.
3. Diperlukan waktu yang lama supaya ikan dapat naik ke permukaan air dan dalam masa penerangan, ikan-ikan tersebut kemungkinan akan berserak.
4. Setelah ikan-ikan berkumpul karena tertarik oleh sumber cahaya dan berada di permukaan, sulit untuk menjaga ikan tetap tenang, karena pantulan cahaya pada permukaan air yang terus bergerak.
b. Lampu yang dinyalakan di bawah permukaan air :
1. Waktu yang diperlukan untuk mengumpulkan ikan lebih sedikit.
2. Cahaya yang digunakan lebih efisien, cahaya tidak ada yang memantul ataupun diserap oleh udara, dengan kata lain cahaya dapat dipergunakan hampir seluruhnya.
3. Ikan-ikan yang bergerak menuju sumber cahaya dan berkumpul, lebih tenang dan tidak berserakan, sehingga kemungkinan ikan yang tertangkap lebih banyak.
Struktur lampu di dalam air sangat berbeda dengan lampu-lampu biasa yang digunakan di atas permukaan air. Penetrasi cahaya pada perairan sangat bergantung sekali terhadap kondisi perairan itu sendiri dan yang paling menentukan adalah warna laut dan tingkat transparansi air. Warna laut dalam hal ini berhubungan dengan jenis warna lampu yang dipancarkan dari lampu itu sendiri. Warna lampu yang sinarnya dapat menembus kedalaman tertinggi tentunya adalah warna lampu yang sejenis dengan warna perairan pada waktu itu dan juga tergantung pada kondisi perairannya. Semakin besar tingkat transparansi perairan semakin besar pula tingkat kedalaman penetrasi sumber cahaya. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa warna cahaya yang baik digunakan pada light fishing adalah biru, kuning dan merah (Sudirman dan Mallawa, 2004).
3. Kuat Dan Kemampuan Penglihatan Ikan Dalam Air
Cahaya yang masuk ke dalam air akan mengalami pereduksian yang jauh lebih besar bila dibandingkan dalam udara. Hal tersebut terutama disebabkan adanya penyerapan dan perubahan cahaya menjadi berbagai bentuk energi, sehingga cahaya tersebut akan cepat sekali tereduksi sejalan dengan semakin dalam suatu perairan. Pembalikan dan pemancaran cahaya yang disebabkan oleh berbagai partikel dalam air, keadaan cuaca dan gelombang banyak memberikan andil pada pereduksian cahaya yang diterima air tersebut. Dengan demikian daya penglihatan ikan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut (Gunarso, 1985).
Kemampuan mengindera dari mata ikan memungkinkan untuk dapat melihat pada hampir ke seluruh bagian dari lingkungan sekelilingnya. Hanya suatu daerah sempit pada bagian sebelah belakang ikan yang tidak dapat dicakup oleh luasnya area yang dapat dilihat oleh ikan, daerah sempit ini dikenal sebagai “dead zone.” Sedangkan untuk jarak penglihatan, tidak hanya tergantung pada sifat indera penglihat saja, tetapi juga pada keadaan penglihatan di dalam air. Pada kejernihan yang baik dan terang maka jarak penglihatan untuk benda-benda yang kecil tergantung pada kemampuan jelasnya penglihatan mata, misalkan pada jarak dimana titik-titik yang letaknya bersekatan, dapat dibedakan sebagai dua titik dan tidak sebagai satu titik ataupun kabur kelihatannya. Dalam keadaan tertentu, beberapa jenis ikan yang berukuran besar mempunyai kemampuan untuk bisa melihat benda-benda yang agak besar dan berwarna kontras dengan latar belakangnya pada jarak beberapa puluh meter. Anak-anak ikan mempunyai daya penglihatan yang sangat dekat. Seekor anak ikan atherina berukuran 2 cm dapat membedakan benda-benda pada jarak 20 cm, sedangkan yang berukuran 0,8 cm hanya mampu membedakannya pada jarak 6-8 cm. Dalam keadaan perairan yang keruh, kemampuan daya penglihatan ikan pada suatu objek yang terdapat di dalam air akan sangat jauh berkurang. Namun tidaklah mengherankan beberapa jenis ikan mampu mempertahankan hidupnya ketika mata ikan tersebut menjadi buta (Gunarso, 1985).
Berbagai jenis ikan yang banyak dijumpai pada lapisan air yang relatif dangkal, banyak menerima cahaya matahari pada waktu siang hari dan pada umumnya ikan-ikan yang hidup di daerah tersebut mampu membedakan warna sama halnya dengan manusia sedangkan beberapa jenis ikan yang hidup di laut dalam, dimana tidak semua jenis cahaya dapat menembus, maka banyak diantara ikan-ikan tersebut tidak dapat membedakan warna atau buta warna. Ketajaman warna yang dapat dilihat oleh mata ikan juga merupakan hal penting. Pada kenyataannya, sesuatu yang mampu diindera oleh mata ikan memungkinkan ikan tersebut untuk dapat membedakan benda-benda dengan ukuran tertentu dari suatu jarak yang cukup jauh. Semakin kabur tampaknya suatu benda bagi mata ikan, maka hal tersebut menyatakan bahwa kemampuan mata ikan untuk menangkap kekontrasan benda terhadap latar belakangnya semakin berkurang (Gunarso, 1985).
Ikan sebagaimana jenis hewan lainnya mempunyai kemampuan yang mengagumkan untuk dapat melihat pada waktu siang hari yang berkekuatan penerangan beberapa ribu lux hingga pada keadaan yang hampir gelap sekalipun. Struktur retina mata ikan yang berisi reseptor dari indera penglihat sangat bervariasi untuk jenis ikan yang berbeda. Pada ikan teleostei memiliki jenis retina duplek, dengan pengertian bahwa dalam retina ikan tersebut terdapat dua jenis reseptor yang dinamakan rod dan kon. Pada umumnya terjadi distribusi yang berbeda dari kedua jenis reseptor tersebut, yang biasanya erat hubungannya dengan pemanfaatan indera penglihatan ikan dalam lingkungan hidupnya. Untuk berbagai jenis ikan pelagis sebagaimana dijumpai pada berbagai jenis ikan dari keluarga Clupeidae, ikan-ikan tersebut memiliki pengkonsentrasian kon yang sangat padat pada area antara ventro-temporal yang dibatasi oleh “area temporalis”. Pada Sardinops caerulea dan Alosa sapidissimn, area temporalis tersebut sangat jelas dan bahkan pada jenis ikan ini reseptor hampir seluruhnya hanya terdiri dari kon saja, rod hampir tidak ada atau tidak ada sama sekali (Gunarso, 1985).
Jenis ikan yang aktif pada siang hari, umumnya mempunyai kon yang tersusun dalam bentuk barisan ataupun dalam bentuk empat persegi. Pada umumnya ikan-ikan yang memiliki kon dalam bentuk seperti ini adalah jenis ikan yang intensif sekali menggunakan indera penglihatnya, biasanya ikan-ikan tersebut termasuk dalam jenis ikan yang aktif memburu mangsa. Untuk jenis-jenis ikan yang aktif pada malam hari atau jenis ikan yang hidup pada lapisan dalam, banyaknya kon sangat kurang atau tidak ada sama sekali dan kedudukan kon tersebut digantikan oleh rod (Gunarso, 1985).
Retina dengan seluruh reseptornya terdiri dari rod banyak dijumpai pada jenis-jenis ikan bertulang rawan, walau beberapa diantaranya masih dijumpai adanya kon pada retina mata ikan-ikan tersebut. Retina yang keseluruhannya terdiri dari rod juga banyak dijumpai pada berbagai ikan teleostei yang hidup di laut dalam. Hasil penghitungan banyaknya rod pada beberapa jenis ikan laut dalam, menunjukkan jumlah yang lebih dari 25 juta rod/mm retina. Hal ini menunjukkan bahwa mata jenis ikan laut demersallah yang mempunyai tingkat sensitifitas tertinggi. Ikan-ikan pelagis yang memangsa makanannya yang berupa plankton, pada umumnya jenis ikan ini mempunyai distribusi kon yang sangat padat pada bagian ventro-temporal yang menunjukkan kemampuan untuk melihat kedepan dan ke arah atas. Sedangkan jenis ikan pelagis yang berasal dari perairan yang cukup dalam biasanya justru mempunyai retina yang seluruhnya dipenuhi oleh rod saja dan bentuk mata ikan-ikan tersebut cukup besar. Diantara jenis ikan demersal yang biasanya memburu mangsa, memiliki retina yang kaya akan kon pada bagian temporal, tapi terjadi perbedaan yang mencolok sehubungan jumlah kon pada bagian-bagian retina yang lain, seperti halnya pada jenis predator pelagis yang mempunyai kemampuan melihat arah lurus ke depan. Contoh untuk jenis ikan ini antara lain adalah Cod, Coalfish dan keluarga Labridae (Gunarso, 1985).
4. Respon Ikan Pelagis Terhadap Cahaya
Cahaya dengan segala aspek yang dikandungnya seperti intensitas, sudut penyebaran, polarisasi, komposisi spektralnya, arah, panjang gelombang dan lama penyinaran, kesemuanya akan mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap tingkah laku dan fisiologi ikan pelagis. Ikan mempunyai respon terhadap rangsangan yang disebabkan oleh cahaya, meskipun besarnya kekuatan cahaya tersebut berkisar antara 0,01-0,001 lux, dimana hal ini bergantung pada kemampuan suatu jenis ikan untuk beradaptasi (Laevastu dan Hayes, 1991). Hasil pengamatan dengan echosounder dapat diketahui bahwa suatu lampu yang oleh mata manusia hanya mampu diindera oleh manusia sampai kedalaman 15 m saja, ternyata mampu memikat ikan sampai kedalaman 28 m. Ikan juga mempunyai daya penglihatan yang cukup baik dalam hal membedakan warna. Dari sejumlah percobaan yang telah dilakukan, ternyata ikan sangat peka terhadap sinar yang datang dari arah dorsal tubuhnya. Ikan ternyata tidak menyukai cahaya yang datang dari arah bawah tubuhnya (ventral) dan bila keadaannya tidak memungkinkan untuk turun ke lapisan air yang lebih dalam lagi, dalam usaha untuk menghindari posisinya semula, ikan-ikan tersebut akan menyebar ke arah horisontal (Gunarso, 1985).
Ada jenis ikan yang bersifat fototaxis positif, yaitu bahwa ikan akan bergerak ke arah sumber cahaya karena rasa tertariknya, sebaliknya beberapa jenis ikan bersifat fototaxis negatif yang memberikan respon dan tindakan yang sebaliknya dengan yang bersifat fototaxis positif. Karena adanya sifat fototaxis positif ini, maka ada beberapa jenis ikan ekonomis penting yang dapat dipikat dengan cahaya buatan pada malam hari. Bagi beberapa ikan bahwa adanya cahaya juga merupakan indikasi adanya makanan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ikan yang dalam keadaan lapar akan lebih mudah terpikat oleh adanya cahaya daripada ikan yang dalam keadaan tidak lapar. Bahkan adakalanya ikan-ikan tersebut akan muncul ke permukaan, ke arah cahaya dengan tiba-tiba walaupun mungkin setelah selang beberapa menit ikan akan menyebar dan meninggalkan tempat tersebut. Respon ikan muda terhadap rangsangan cahaya adalah lebih besar daripada respon ikan dewasa dan setiap jenis ikan mempunyai intensitas cahaya optimum dalam melakukan aktifitasnya (Gunarso, 1985).
Daerah penerangan dimana ikan memberikan respon terhadap cahaya disebut daerah phototaxis. Di luar batas daerah phototaxis ini respon ikan terhadap cahaya tidak ada, karena kuat penerangannya sudah lemah. Semakin besar daerah phototaxis ini semakin banyak ikan yang terkumpul dan semakin banyak pula ikan yang tertangkap dekat dengan sumber cahaya (Fridman, 1969).
Terdapat keseimbangan batas intensitas tertentu untuk suatu jenis ikan terhadap intensitas cahaya yang ada. Jenis ikan teri memiliki variasi yang jelas tentang pergerakan renang ikan di kedalaman tertentu pada waktu siang hari. Jenis ikan ini akan berenang atau berada lebih dekat ke permukaan pada waktu pagi dan sore hari bila dibandingkan pada saat tengah hari. Diantara berbagai jenis ikan yang benar-benar phototaxis positif antara lain adalah jenis sardinella, layang, selar dan ikan herring muda (Gunarso, 1985).
Richardson (1952) dalam Laevastu dan Hella (1970), menyatakan bahwa salah satu jenis ikan sardin yang dikenal sebagai ikan Pilchard dapat dipikat dengan menggunakan cahaya lampu pada waktu malam hari. Selain itu, kedalaman kelompok ikan herring dapat juga ditentukan berdasarkan intensitas cahaya. Ikan herring dewasa tidak bersifat phototaxis positif karena ikan tersebut lebih menyukai daerah yang berintensitas cahaya rendah. Namun demikian, ikan ini dapat juga tertarik pada cahaya buatan pada waktu malam bila saja cahaya yang dipakai tidak begitu kuat.
Pada umumnya ikan pelagis akan muncul ke lapisan permukaan sebelum matahari terbenam dan biasanya ikan-ikan tersebut akan membentuk kelompok. Sesudah matahari terbenam, ikan-ikan tersebut menyebar ke dalam kolom air dan mencari lapisan yang lebih dalam, sedangkan ikan demersal biasanya menyebar ke dalam kolom air selama malam hari. Dengan mengetahui ruaya ikan secara vertikal harian suatu jenis ikan, maka waktu untuk melakukan pengoperasian alat penangkapan dapat ditentukan. Selain itu kemungkinan berhasilnya penangkapan dengan bantuan sinar lampu akan lebih besar. Penangkapan dengan bantuan lampu akan lebih efektif sebelum tengah malam dan hal ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa fototaxis yang maksimal bagi ikan adalah pada waktu-waktu tersebut (Laevastu dan Hella, 1970).
Cahaya yang masuk ke dalam air laut akan mengalami refraction atau pembiasan, penyerapan (absorption), penyebaran (scattering), pemantulan (reflection) dan lain-lain (Ayodhyoa, 1981). Cahaya lebih jelas terlihat pada keadaan air yang jernih daripada air yang telah menjadi keruh dan meyebabkan cahaya menjadi melemah atau bahkan hilang sama sekali. Pengukuran cahaya dapat digambarkan sebagai berikut:
E = F / A , E = I / R2
E = Kuat penerangan (Lux)
F = Flux cahaya (lumen)
A = Luas sebaran cahaya (m2)
I = Intensitas cahaya (candela)
R = Radius penerangan (meter)
Dimana kuat penerangan E (lux) sebanding dengan Intensitas Cahaya I (candela ) dan berbanding terbalik dengan radius penerangan (meter). Kuat penerangan berkurang dengan bertambahnya kuadrat jarak sumber cahaya dan intensitas cahaya berkurang dengan cepat dari jarak sumber cahaya pada medium yang berbeda. Kuat penerangan ini erat hubungan dengan tingkat sensitifitas penglihatan ikan, dengan kata lain bahwa berkurangnya derajat penerangan akan menyebabkan berkurangnya jarak penglihatan ikan. Jadi dengan berkurangnya kekuatan penerangan beberapa puluh lux saja, maka jarak penglihatan ikan terhadap objek akan menurun pula. Jarak penglihatan ikan juga tergantung pada ukuran objek itu sendiri (Fridman, 1969).
5. Karakteristik Dan Tingkah Laku Ikan Pelagis Yang Dominan Tertangkap
Pada Purse Seine
Purse seine adalah alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis yang membentuk gerombolan dan berada dekat dengan permukaan air. Sasaran penangkapannya adalah ikan-ikan pelagis seperti ikan kembung, selar, tetengkek, tembang.
1. Ikan kembung
Ikan kembung yang tertangkap di perairan Indonesia rata-rata terdiri atas dua spesies, yaitu kembung perempuan (Rastrelliger negletus) dan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta). Kedua ikan kembung tersebut mempunyai sifat dan ciri-ciri yang berbeda. Kedua ikan kembung tersebut termasuk dalam famili Scombridae, yaitu jenis ikan yang suka hidup bergerombol. Ikan kembung merupakan ikan pelagis yang memakan plankton halus. Badan tidak begitu langsing, tetapi pendek dan gepeng. Tubuh bagian atas berwarna kehijauan dan putih perak pada bagian bawah, terdapat totol-totol hitam pada bagian punggung, sirip punggung pertama kuning keabuan dengan pinggiran gelap. Perut dan sirip dada berwarna kuning maya gelap dan sirip lainnya berwarna kekuningan. Ikan kembung ini memiliki finlet berjumlah 5-7, ukuran tubuhnya mencapai 15-30 cm. Ikan kembung biasanya hidup lebih mendekati pantai dan membentuk gerombolan besar. Daerah penyebarannya di perairan pantai Indonesia dengan konsentrasi terbesar di Kalimantan, Sumatera Barat, Laut Jawa dan Selat Malaka (Anonymous, 1975).
Ikan kembung cenderung berenang mendekati permukaan air pada waktu malam hari dan pada siang hari turun ke lapisan yang lebih dalam. Gerakan vertikal ini dipengaruhi oleh gerakan harian plankton dan mengikuti perubahan suhu, faktor hidrografis dan salinitas. Damanhuri (1980) menyatakan bahwa umumnya sifat dari ikan kembung adalah :
ü Termasuk ikan pelagis yang daerahnya penyebarannya luas.
ü Selalu hidup bergerombol, dapat berenang dengan cepat yang ditandai dengan bentuk tubuh yang stream line dan menyukai makanan berupa ikan-ikan kecil/plankton hewani.
ü Reproduksinya adalah ovoparus yaitu telur dibuahi diluar tubuh ikan dan telurnya bersifat planktonis.
2. Ikan selar
Ada dua jenis ikan selar yang dominan tertangkap di perairan Indonesia, yaitu selar kuning (Selaroides leptolepis) dan selar bentong (Selar crumenophthalmus). Mempunyai bentuk badan agak lebar dan memanjang, matanya besar, terdapat 2 duri di muka sirip dubur. Pada bagian ekor terdapat scute, sirip dada berbentuk meruncing ke ujungnya seperti bulan sabit. Berwarna biru kehijau-hijauan pada bagian punggung dan putih keperak-perakan di bagian perut. Sebagian mempunyai garis sisi yang berwarna kuning yang dimulai dari belakang mata sampai ke ujung ekor. Daerah penyebaran ikan selar terdapat hampir di seluruh perairan Indonesia (Anonymous, 1975).
3. Ikan tembang
Ikan tembang (Sardinella fimbriata) memiliki ciri-ciri morfologi: bentuk badan bulat memanjang, terdapat ventral scute yang dimulai dari bawah pangkal sirip dada sampai dubur. Sirip punggung terletak di tengah-tengah antara moncong dan ekor. Warna punggung hijau sedangkan warna perut keperak-perakkan, terdapat sabuk kuning membujur badan. Panjang badan umumnya kira-kira 14 cm. Habitat ikan tembang adalah di sepanjang perairan pantai dan merupakan spesies permukaan. (Anonymous, 1975).
4. Ikan tetengkek
Ikan tetengkek atau dalam bahasa latinnya disebut Megalaspis cordyla merupakan ikan pelagis yang terdapat hampir di seluruh perairan pantai Indonesia. Bentuk badannya seperti torpedo, mempunyai 6-9 sirip tambahan di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Terdapat scute yang panjang di sepanjang gurat sisi (linea lateralis). Ekornya keras berbentuk langsing dan bercabang dalam, mempunyai 2 duri di muka sirip dubur. Pada tutup insang terdapat noda hitam, sedangkan warna tubuh bagian atas hitam kehijauan dan di bagian bawah tubuh berwarna putih keperakan. Alat tangkap yang sering digunakan untuk menangkap ikan tetengkek antara lain gill net, payang, muroami dan purse seine (Anonymous, 1975).
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 1975. Standard Statistik Perikanan. Buku I. Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Anonymous. 2002. Profil Departemen Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Ayodhyoa. 1976. Teknik Penangkapan Ikan. Bagian Teknik Penangkapan Ikan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ayodhyoa. 1981. Metode Penangkapan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.
Damanhuri. 1980. Diktat Fishing Ground. Bagian Teknik Penangkapan Ikan. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang.
Effendi, M.I. 1979. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Tama. Yogyakarta.
Fridman, A.L. 1969. Theory And Design Of Commercial Fishing Gear. Israel Program For Scientific Translation. Jerusalem.
Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan Dalam Hubungannya Dengan Alat, Metoda Dan Taktik Penangkapan. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.
Hidayat, S. dan Sedarmayanti. 2002. Metodologi Penelitian. Mandar Maju. Bandung.
Laevastu, T. and I. Hella. 1970. Fisheries Oceanography. Fishing News (Books) Ltd. London.
Laevastu, T. and M.L. Hayes. 1991. Fisheries Oceanography and Ecology. Fishing News. Farnham.
Muhammad, S. 1991. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian dan Rancangan Percobaan. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang.
Mitsugi, S. 1974. Fish Lamps. Japanese Fishing Gear and Methods Textbook for Marine Fisheries Research Course. Japan.
Nedelec, C. 2000. Definisi Dan Klasifikasi Alat Tangkap Ikan. Published by Arrangement with the Food and Agriculture Organization of The United Nation. Diterjemahkan oleh Bagian Proyek Pengembangan Teknik Penangkapan Ikan Semarang. Balai Pengembangan Penangkapan Ikan. Semarang.
[Continue reading...]

Minggu, 09 Oktober 2011

Mengeksplorasi Potensi Perikanan Tangkap Tanjungpandan

- 0 komentar
Salah satu wilayah yang memiliki potensi kelautan dan letak strategis ialah Kabupaten Belitung.

Ellen Piri

Tidaklah mengherankan jika mayoritas masyarakat pesisir bermata pencarian sebagai nelayan. Selain karena nenek moyang kita terkenal sebagai pelaut, hampir 2/3 bagian wilayah Indonesiamemang merupakan hamparan laut luas. Tentunya, kekayaan biota laut pun sangat banyak.

Salah satu wilayah yang memiliki potensi kelautan dan letak yang strategis adalah Kabupaten Belitung. Lokasi yang menjadi sentra kegiatan nelayan ini menjadikan Belitung ditetapkan sebagai kawasan minapoli-tan yang diakomodasikan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Tanjungpandan dalam kegiatan perikanan tangkap.

PPN Tanjungpandan yang berlokasi di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP)

Laut China Selatan berpotensi lestari sebesar 1.2 juta ton/tahun.

"Kawasan PPN cukup sesuai dengan konsep minapoli-tan yang tengah dikembangkan Kementerian Kelautan Perikanan." tutur Kepala PPN Tanjungpandan Belitung Sutardjo, saat ditemui SH, dalam acara Press Tour Jurnalis Kementerian Kelautan dan Perikanan, akhir pekan lalu.

Berbagai jenis ikan laut ekonomis penting terdapat di WPP ini seperti jenis kerapu, ekor kuning, hiu tenggiri. kakap Medan, udang-udangan. dan hewan avertabrata lainnya. Bahkanikan ekor kuning merupakan komoditas yang diunggulkan dalam perikanan tangkap di Belitung.

Posisi pelabuhan ini sangat strategis, karena dekat dengan fishing ground dan pusat pemasaran, baik dalam negeri (Jakarta. Bangka. Palembang. Tanjungpinang, Pontianak) maupun luar negeri (Singapura dan Malaysia).

Namun sayang, masyarakat nelayan di wilayah Tanjungpandan lebih memilih berburu ikan hiu yang spesiesnya semakin langka saja. Selain itu, hasil tangkapannya tersebut juga tidak mampu dieksplorasilebih jauh. Ikan hiu diburu nelayan, namun hanya siripnya saja yang diekspor. Ini pun nelayan dimanfaatkan oleh pengepul yang tentu mengincar untung lebih besar. Nelayan hanya kebagian dagingnya yang dijual untuk konsumsi semata di pasar ikan PPN.

Padahal, daging hiu bisa dimanfaatkan menjadi produk yang bernilai tambah seperti makanan jenis bakso, minyak ikan, pindang. maupun lem. Keterbatasan pemahaman dan pengetahuan membuat nelayan seolah tidak mampu mengeksplorasi lebih potensi yang ada.

Sumber: SinarHarapan,07Oktober2011, Hal.14
[Continue reading...]

Daya Saing Ekspor Kian Membaik

- 0 komentar
Oleh Julius Jera Rema

JAKARTA - Daya saing ekspor ikan kaleng semakin baik selama semester pertama tahun ini. Biaya produksi dalam negeri pun rendah, menyusul semakin tidak efisiennya ongkos produksi serupa di negara pesaing ekspor, seperti Tiongkok, Thailand, dan Maroko.

"Ongkos tenaga kerja dan jaminan energi jadi penentu daya saing ekspor. Di Tiongkok, ongkos buruh pabrik ikan kaleng dibayar USS 3200 per orang per bulan. Di Indonesia lebih murah," kata Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Victor PH NIkijuluw di Jakarta, Kamis (6/10). Vio tor memastikan daya saing ekspor terus membaik di tahun-tahun mendatang.

Tahun ini nilai ekspor ikan tercatat naik 12,57%. Pada periode Januari-Agustus tahun (year on year) nilai ekspor ikan tercatat USS 1,85 miliar, naik menjadi USS 2,08 miliar tahun ini. Tahun depan diperkirakan mencapai US$ 32 miliar.

Victor menjelaskan, ongkos tenaga kerja di Indonesia masih berkisar USS 1.300 per orang per bulan. Biaya sebesar itu tercatat berlaku di Banyuwangi, Jawa Timur. Jumlah itu juga tidak jauh berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Di Thailand, ongkos tenaga kerja pabrik ikan kaleng dikabarkan lebih tinggi dibanding Tiongkok. Apalagi, pemerintahan baru negara itu berencana menaikkan upah mini-mum-sejenis upah minimum regional (UMR) di Indonesia-lebih dari yang berlaku saat ini.

Menurut Victor, terdapat lima perusahaan ikan kaleng asal Indonesia yang kini memasok pasar Timur Tengah dan Afrika. Ekspansi pasar itu guna mengatasi kejenuhan pasar AS dan Eropa karena tertimpa perlambatan ekonomi. Maroko, sebagaisalah satu pesaing ekspor Indonesia juga dinilai mandek, menyusul gonjang-ganjing politik negara itu. Sejumlah perusahaan asal luar negeri tercatat meneken kontrak dengan pabrik ikan kaleng dalam negeri.

Mereka umumnya meneken kontrak jangka panjang karena dinilai menguntungkan. "Harga bersaing dan kondisi ini menguntungkan perusahaan pedagang {traded," jelas Victor.

Dia menambahkan, dalam enam bulan pertama tahun ini perusahaan Indonesia mendominasi pasar Timur Tengah dan Afrika. Sejumlah negara pesaing seperti Thailand dan Tiongkok yang memasok pasar kawasan itu pun melabeli produk mereka dengan label Indonesia. "Itu berarti Indonesiajuga memasok bahan baku ke negara pesaing. Ongkos produksi kita rendah dan ini menaikkan daya saing kita," papar Victor.

Volume dan Nilai Naik

Sementara itu. Direktur Marketing PT Dharma Samudera Fishing Industry Herman Sutjiamidjaja belum lama ini mengatakan, nilai ekspor ikan tahun ini diperkirakan naik. "Volume produksi dan nilai penjulan ekspor bisa naik 10-20% tahun ini," kata Herman.

Data KKP menyebutkan, target nilai ekspor ikan meningkat USS 32 juta tahun ini. Peningkatan tersebut naik dari USS 2,89 miliar 2010 menjadi USS 3.21 miliar pada tahun 2011. Peningkatan nilai bisa dipenuhi menyusul makin besarvo-lume ekspor berbentuk olahan dibanding hanya bahan mentah. "Volume naik dari 1,10 juta ton tahun 2010 menjadi 1, 15 juta ton tahun ini. Harga udang diperkirakan akan mencapai rata-rata USS 6,8 per kg, sehingga nilai ekspor udang sekitar USS 1,03 miliar atau setara dengan 30,12% dari total ekspor," kata dia.

Peningkatan nilai ekspor udang dapat terwujud jika Indonesia dapat memproduksi udang ukuran besar dan bernilai tambah. "Kita tidak lagi sekadar mengirim headless shrimp atau udang tanpa kepala, tetapi perusahaan pengolahan harus mampu mengembangkan produk udang olahan," tuturnya.

Sementara itu, meski memperkirakan peningkatan nilai ekspor, KKP juga mencacat peningkatan impor. Nilai impor tahun lalu tercatat USS 225 juta, naik menjadi USS 329 juta pada tahun ini.

Komponen impor terbesar adalah ikan beku sf nilai USS 147 juta dan tepung ikan dan udang USS 84 juta. Lemak dan minyak ikan tercatat USS 17 juta. Data nilai ekspor dan impor itu mengakibatkan neraca dagang hasil perikanan naik 7,88% pada periode Januari-Agustus.

Sumber: InvestorDailyIndonesia,07Oktober2011, Hal.26 
[Continue reading...]

Produksi Perikanan Terpuruk

- 0 komentar
Jakarta - Peralihan musim dan perubahan cuaca ekstrem dalam 4 (empat) tahun terakhir ini mempengaruhi ketahanan produk akuakultur maupun hasil tangkapan nelayan. Di beberapa daerah yang merupakan sentra perikanan air payau terutama udang merebak penyakit virus ikan.

Virus myo atau infectious myo necrosis virus (IMNV) maupun monodon baculo virus (MBV) menyerang hampir semua sentra areal tambak udang tradisional (windu) dan tambak udang intensif (vaname) serta usaha budi daya laut di Banyuwangi, Situbondo, Pasuruan, Sidorjo, Sumenep, dan Malang. Akibatnya ribuan petani tambak di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa Timur gulung tikar.

Realisasi ekspor udang asal Jawa Timur tahun 2009 mengalami penurunan yang besar sekitar 30 persen. Penurunan ekspor udang terbesar terjadi pada bulan Agustus yang mencapai 40 persen.

Penduduk pesisir dan nelayan terdampak langsung perubahan iklim. Musim tak terprediksi, panen ikan merosot, dan hari melaut nelayan rata-rata hanya 180 hari atau enam bulan. Akibatnya, keluarga nelayan pun kian terjerat utang.

Di pantura terjadi serangan penyakit bintik putih atau white spot syndrome virus(WSSV). Selain merusak tambak udang juga menghancurkan usaha budi daya laut seperti rumput laut, ikan kerapu dan kakap. Kegagalan Jawa Timur mempertahankan produksi perikanan tahun 2009 disebabkan tambak-tambak itu tidak didukung teknologi memadai, infrastruktur, peralatan, sarana irigasi, listrik, atau pun permodalan.

Selain itu air laut sebagai bahan baku yang digunakan untuk tambak tercemar berat dan tingkat keasamannya tinggi sehingga memudahkan virus berkembang biak. Udang sangat sensitive terhadap air yang tercemar dan perubahan suhu. Sehingga udang mudah terserang virus dan akhirnya mati.

Penurunan produksi hasil tambak semi intensif dan intensif dipengaruhi pula oleh kondisi tanah tambak akibat kontaminasi tumpukan kimia yang berasal dari konsentrat pakan ikan. Sementara itu menurunnya hasil produksi tambak udang tradisonal lebih diakibatkan faktor lingkungan. Rusaknya sebagian besar tanaman mangrove dan padang lamun di pesisir pantura adalah salah satu penyebabnya.

Kesulitan serius pun dialami ribuan nelayan akibat anomali iklim dan kondisi perairan yang overfishing di wilayah penangkapan ikan di perairan pantura maupun di perairan selatan Jawa Timur yang tergolong padat tangkap. Bentrok antar nelayan semi modern dan tradisonal di tengah laut memperebutkan wilayah tangkapan kerap terjadi dan sulit dihindari lagi. Nelayan jangan berharap saat ini bisa menangkap ikan tanpa alat bantu rumpon.

Menipisnya stok ikan di Selat Madura, Laut Jawa, dan Selat Bali memengaruhi hasil tangkapan nelayan yang berujung pada suplai ikan untuk industri pengolahan. Demikian halnya di Samudera Indonesia. Di samping fully exploited nelayan lokal harus bersaing dengan kapal asing yang memiliki peralatan penangkapan ikan lebih modern.

Cuaca ekstrim mengurangi waktu melaut nelayan dan penghasilan masyarakat pesisir. Di samping itu produksi hasil tangkapan nelayan pada tahun ini dan ke depan akan terganjal sertifikasi hasil tangkapan.

Indonesia terikat dalam regulasi Komisi Uni Eropa (UE). Dalam upaya penanggulangan IUU fishing dilakukan penerapan Sertifikasi Hasil Tangkapan Ikan. Mekanisme melarang masuknya produk yang diperoleh melalui IUU fishing adalah dengan pengaturan bahwa setiap produk perikanan yang masuk ke negara anggota UE harus dilengkapi dengan Sertifikat Hasil Tangkapan (SHT).

Regulasi tersebut mulai diberlakukan pada 1 Januari 2010. Dengan adanya ketentuan ini hasil tangkapan nelayan akan diseleksi ketat oleh eksportir. Di tengah kesulitan yang mendera masyarakat pesisir sebaliknya impor produk perikanan mengalir deras.

Tahun 2008 impor perikanan meningkat 68 persen dibandingkan tahun 2007. Di tengah tren meningkatnya produk perikanan dari luar negeri itu kita belum memiliki regulasi impor untuk mengendalikan impor perikanan.

Bahkan, di Jawa Timur kenaikan impor produk perikanan dalam dua tahun terakhir ini sangat signifikan mencapai 300 persen lebih. Jika tahun 2007 volume impor 5.869 ton dengan nilai 8.953.699 dolar pada tahun 2008 volumenya meningkat menjadi 23.166 ton dengan nilai 38.319.632 dolar.

Ketiadaan aturan impor berpotensi membahayakan keamanan pangan konsumen, terganggunya pasar perikanan domestik, dan masuknya hama dan penyakit. Di samping itu impor perikanan khsususnya udang, rawan tindak kriminal, relebelling dan transhipment. Jika dibiarkan hal itu dikhawatirkan akan mematikan daya saing produk perikanan lokal.

Tidak adanya regulasi impor perikanan menjadi preseden buruk bagi Indonesia menghadapi perdagangan bebas. Sebab, sejak Januari tahun 2010 Asean - China menerapkan sepenuhnya perjanjian perdagangan bebas.

Dengan demikian keran impor produk perikanan semakin terbuka lebar dan ini adalah ancaman eksternal bagi produksi perikanan lokal dan kelangsungan hidup ratusan ribu petani tambak dan nelayan.

Posisi Jawa Timur sebagai barometer perikanan nasional di ujung tanduk. Kita tidak menginginkan nasibnya mengikuti jejak Bagan Siapi-api Sentra perikanan terbesar nasional yang kini hanya tinggal nama.

Oki Lukito
Direktur Regional Maritime Institute.

[Continue reading...]

Hari Nelayan yang Terlupakan

- 0 komentar



Jakarta - Seluruh perhatian bangsa Indonesia saat ini sedang tersedot dalam agenda besar pemilu. Tentunya agenda ini memang harus menjadi fokus perhatian kita. Namun, di tengah hiruk pikuknya Pemilu 2009 ini ada satu hari penting bagi nelayan Indonesia.

Seiring dengan waktu mungkin hanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang tahu bahwa tanggal 6 April adalah Hari Nelayan Nasional. Entahlah. Hari nasional ini masih diakui atau tidak. Namun, jika kita buka di wikipedia tentang hari nasional maka akan muncul deretan hari nasional yang salah satunya hari nelayan.

Tak bisa dipungkiri di tengah potensi besar lautan justru kantong-kantong kemiskinan banyak terletak di pemukiman nelayan. Memang banyak faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan baik secara alamiah, struktural, maupun kultural.

Secara alamiah laut memang sulit diprediksi. Gelombang tinggi, angin kencang atau badai, serta rusaknya alam membuat hasil tangkapan semakin sedikit. Di satu sisi masyarakat nelayan mempunyai kelemahan secara struktural. Kemampuan modal yang lemah, manajemen rendah, kelembagaan yang lemah, di bawah cengkeraman tengkulak, dan keterbatasan teknologi.

Kondisi kultural juga bisa mendorong nelayan semakin terjun ke jurang kemiskinan. Kekayaan alam yang besar sering meninabobokan kita semua. Ketergantungan pada sumber daya laut mengakibatkan terjadi kepasrahan, dan ini berakibat tidak adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).

Budaya negatif seperti hidup boros terkadang juga masih melekat pada diri nelayan. Terlepas dari itu semua kita perlu mencermati sebuah potensi besar pada diri nelayan. Tidak bisa dipungkiri dalam diri nelayan terdapat jiwa-jiwa pemberani dan kerja keras.

Bayangkan saja berhari-hari menerjang ganasnya ombak selalu mereka lalui dengan taruhan nyawa. Kerja keras mereka seakan tidak tertandingi. Berangkat malam-malam pulang pagi atau sebaliknya berangkat pagi pulang malam-pun mereka kerjakan. Jika nelayan seorang pemalas saya rasa mereka tidak akan mampu melakukan hal tersebut.

Untuk itu kita berharap nelayan mampu memanfaatkan kekuatan tersebut sehingga menjadikan mereka meningkat kualitas hidup dan kesejahteraannya. Belajar dari sejarah sebenarnya nelayan kita telah memiliki kemampuan yang handal dalam menaklukkan lautan.

Teknologi tradisional dahulu telah terbukti dan mampu digunakan sebagai sarana menangkap ikan. Kita dahulu mengenal patokan bintang (rasi bintang) yang dijadikan nelayan pijakan arah melaut. Namun, banyak nelayan sekarang yang mulai melupakan.

Nelayan muda cenderung melupakan teknologi tradisional dengan alasan modernisasi alat lebih penting. Padahal modernisasi tidak selamanya baik. Justru lebih baik jika modernisasi alat diperpadukan teknologi tradisional yang telah melekat turun temurun di masyarakat nelayan.

Permasalahan yang muncul sekarang adalah modernisasi alat tangkap hanya dikuasai oleh nelayan berduit (tengkulak) atau pengusaha. Sehingga, terjadi ketimpangan terhadap nelayan kecil. Pengusaha besar dengan alat tangkap kapasitas besar mampu mengeruk ikan lebih banyak di perairan lepas. Sedangkan nelayan kecil hanya menangkap ikan di pinggiran yang ikannya sudah habis.

Kita perlu kemitraan antara nelayan besar dengan nelayan kecil dengan sistem
yang adil dalam memadukan teknologi penangkapan modern dan tradisional. Bukan sistem tengkulak yang terus menjerat kemiskinan nelayan.

Permasalahan yang lebih kompleks bagi nelayan Indonesia adalah mereka terpusat di pantai utara (pantura) maupun selatan Jawa. Jumlah nelayan di pantura sendiri telah mencapai 1,5 juta orang. Kondisi ini memaksa hasil tangkapan rata-rata setiap nelayan di pantura hanya tiga kilogram per hari. Dengan patokan harga Rp 5,000/ kg maka sehari nelayan hanya mendapat Rp 15,000. Ini belum termasuk ongkos beli solar maupun sewa kapal. Padahal, idealnya 20 kilo gram per hari dengan jumlah nelayan maksimal 500.000 orang.

Di lain sisi lautan Indonesia ini sangat luas sekali. Dari Sabang sampai Merauke. Nelayan dengan peralatan sederhana tidak bisa menjamah daerah yang ikannya banyak di sisi luar pulau-pulau Indonesia. Justru kapal asing berbendera Indonesia dengan peralatan yang canggih terus mencuri kekayaan ikan kita.

Program relokasi atau bahasa kerennya pada masa Orde Baru yaitu transmigrasi harus dijalankan terstruktur dan berkesinambungan. Kita masih perlu belajar dari Presiden kedua Soeharto yang sukses menjalankan program transmigrasi. Dalam program transmigrasi yang terpenting adalah perpaduan yang serasi antara pendatang dan penduduk asli.

Kita ibaratkan nelayan pendatang adalah kaum Muhajirin dan penduduk asli Anshar. Walau kita berbeda suku, agama, maupun ras, bukannya kita masih satu bendera atas nama Indonesia?

Jika relokasi nelayan ini berhasil maka ada beberapa manfaat yang kita dapatkan. Terutama peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka karena mendapatkan tangkapan yang lebih. Di sisi lain ini mengurangi keterbatasan armada Angkatan Laut dalam pengamanan lintas luar perbatasan. Nelayan dengan sendirinya mampu menjadi benteng pengamanan bagi bangsanya sendiri.

Aktivitas kehidupan nelayan tidak sesempit yang kita bayangkan. Mereka tidak hanya menangkap ikan di laut. Namun, rantai kehidupan nelayan masih banyak seperti nelayan pengolah, pembudidaya, pedagang, maupun aktivitas jasa lainnya. Mata pencaharian lain yang produktif perlu terus digalakkan.

Pengurangan jumlah nelayan tangkap bisa didorong jika mereka mempunyai mata pencaharian lain yang lebih menjanjikan. Konsep keseimbangan alam dengan produktivitas perikanan harus terus dijaga. Ikan juga membutuhkan waktu bertelur, memijah, dan berkembang besar. Jika eksploitasi penangkapan terus dilakukan secara berlebihan tentunya nelayan sendiri yang akan merugi. Ikan semakin langka dan pergi entah ke mana.

Gemar Makan Ikan
Membantu kesejahteraan nelayan Indonesia bukanlah suatu hal yang susah. Salah satu usaha yang mudah dilakukan masyarakat untuk menaikkan taraf hidup nelayan adalah gemar makan ikan.

Kita sudah cukup tahu tentang kasiat ikan dan kandungan gizinya yang cukup tinggi. Ikan juga diyakini dapat membuat manusia hidup lebih lama. Namun, sebagai negara kaya ikan kondisi ini justru sebaliknya.

Konsumsi ikan nasional sampai saat ini baru mencapai 26 kg/ orang setahun. Berdasarkan data tingkat konsumsi ikan penduduk Indonesia ini masih di bawah standar Food Agricultural Organization (FAO). Sebesar 30 kilo gram per kapita per tahun. Tingkat konsumsi ikan di negara maju pun sangat jauh meninggalkan Indonesia. Sebagai contoh konsumsi ikan Jepang (110 kg/ kapita/ tahun), Korea Selatan (85 kg/ kapita/ tahun), Malaysia (45 kg/ kapita/ tahun) dan Thailand (35 kg/ kapita/ tahun).

Dengan tingkat konsumsi ikan yang tinggi tentunya akan memacu produktivitas ikan yang tinggi juga. Ini akan semakin memacu nelayan untuk berimprovisasi menaikkan produktivitasnya seperti kegiatan budi daya perikanan.

Memang cukup ironis sekali masyarakat kita justru lebih suka makan daging darat dibandingkan ikan. Namun, budaya gemar makan ikan masih terus bisa ditingkatkan. Salah satunya melalui pendidikan sejak dini.

Dulu ketika kecil kita mengenal kegiatan 'Posyandu' atau bahkan di sekolah-sekolah tingkat dasar kita diperkenalkan gerakan makan 4 sehat 5 sempurna. Sekiranya kegiatan ini terus dilakukan untuk menciptakan pemahaman secara dini tentang perlunya makan ikan dalam menciptakan tubuh yang sehat.

Budaya dapat terekam jika dilakukan sejak kecil, terus menerus, dan adanya contoh dari orang tua. Sekali lagi gemar makan ikan tidak hanya membuat tubuh kita sehat. Tetapi, ikut serta membuat nelayan semakin bahagia.

Anton Setyo Nugroho
Saga International House B-621 Sagashi Honjomachi 489-1
Saga - Japan
dkp_anton@yahoo.com
+819094969401

[Continue reading...]

Miskinnya Para Nelayan Kayanya Potensi Kelautan

- 0 komentar

 Jakarta - Tanggal 6 April diperingati sebagai Hari Nelayan Indonesia. Membicarakan tentang nelayan kita perlu merenung sejenak sudah sejauh mana perhatian kita kepada para nelayan. Terutama nelayan tradisional yang hingga saat ini tingkat kesejahteraannya belum menunjukkan perbaikan.

Nelayan tradisional jumlahnya lebih banyak dibanding nelayan modern yang menggunakan peralatan teknologi dalam budi daya atau penangkapan ikan. Umumnya nelayan tradisional selain terbatas dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi budi daya dan pengolahan hasil tangkapan juga sangat terbatas permodalannya. Sehinga, sulit mengembangkan usaha karena kalah bersaing dengan nelayan modern yang menggunakan kapal penangkapan ikan dengan teknologi lainnya.

Kalau nelayan tradisional bekerja hanya dalam hitungan jam atau beberapa hari di laut mencari ikan. Hasilnya hanya diperoleh dalam jumlah puluhan kilogram. Maka nelayan modern yang memiliki kapal penangkap ikan dengan bobot 100 GT (gross ton) tonase (kapasitas muatan) kapal 20 sampai 30 ton bisa melaut selama 52 hari: 37 hari menangkap ikan dan 15 hari perjalanan.

Kondisi nelayan tradisional setidaknya disebabkan oleh keterbatasan sarana, masih rendahnya sumber daya manusia, dan belum adanya kebijakan pemerintah yang berpihak kepada mereka. Hal tersebut merupakan rangkaian permasalahan yang tidak bisa dipisahkan begitu saja. Sebab, dengan minimnya peralatan penangkapan ikan yang dimiliki, maka tingkat produktivitasnya pun sangat terbatas. Pada gilirannya sangat berpengaruh pada pendapatan dan kesejahteraan.

Potensi Kelautan dan Nelayan
Tetapi, pernahkah anda bayangkan berapa luas laut Indonesia? Ternyata mencapai 5,8 juta kilometer persegi dengan panjang garis pantai seluruhnya 80.790 kilometer atau sekitar 14 persen panjang garis pantai dunia. Dari sejumlah kekayaan yang ada potensi sumber daya ikan di laut tersebut diperkirakan mencapai 6,7 juta ton per tahun. Jumlah itu terbagi di perairan Indonesia sekitar 4,4 juta ton dan di perairan Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) sekitar 2,3 juta ton per tahun.

Di negara kita pun dari sepanjang pantai tersebut di atas terbentang hutan bakau yang luasnya mencapai 4,29 juta hektar. Lahan hutan bakau ini sangat potensial untuk usaha pertambakan. Bahkan, seluas 80.925 hektar laut cukup potensial untuk usaha budi daya ikan di lautan (marikultur).

Dari segudang potensi perikanan tersebut di atas sayangnya tingkat pemanfaatannya masih kecil. Potensi di perairan Nusantara ternyata baru termanfaatkan sekitar 50 persen dan di laut ZEEI baru sekitar 27 persen. Sedang tingkat pemanfaatan lahan tambak sampai saat ini baru sekitar 37 persen. Bahkan, untuk tingkat pemanfaatan budi daya laut kondisinya masih bersifat rintisan.

Persoalan Kemudian Muncul
Potensi besar kelautan kita ternyata kurang mendapat perhatian memadai. Pada akhirnya belum memberikan kontribusi yang cukup berarti.

Sebenarnya agak mengejutkan jika melihat data dengan perhatian ala kadarnya dan segala fasilitas yang belum mencukupi pula ternyata subsektor perikanan mampu menyumbang ekspor sampai 1,65 miliar dolar AS. Jumlah yang masih di atas nilai ekspor gabungan kelapa dan kelapa sawit (1,59 miliar dolar AS). Atau hanya terpaut sedikit dari industri elektronika yang mencapai 2 miliar dolar AS.

Tetapi, angka tersebut tak menggambarkan sepenuhnya potensi kelautan yang ada. Angka itu juga ternyata belum mampu mengangkat kehidupan nelayan yang tetap saja selalu dikatakan "miskin". Mengapa kontribusi bidang kelautan masih demikian kecil. Padahal sebagian besar wilayah kita adalah lautan? Jawabannya tentu karena selama ini pembangunan kita lebih banyak diarahkan ke daratan sehingga kelautan kurang banyak tersentuh.

Hampir semua kebutuhan pangan kita berasal dari daratan. Padahal kalau kita kaji lahan daratan semakin hari terus menyempit karena terseret oleh pemukiman dan industri. Di sisi lain jumlah penduduk negara kita semakin bertambah banyak.

Urgensi Pemberdayaan
Hal yang sangat urgen sekarang ini adalah melakukan pemberdayaan terhadap nelayan. Yang penting dilakukan untuk memberdayakan nelayan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya antara lain:

1. Untuk meningkatkan produksi dan produktivitas usaha nelayan pemerintah perlu memberikan bantuan permodalan dan sarana kerja yang memadai. Sehingga, mereka bisa mengembangkan usaha seperti yang diharapkan. Hal yang tidak kalah penting adalah perlunya dilakukan rehabilitasi lingkungan pesisir yang rusak. Jika hal tersebut dibiarkan dikhawatirkan dapat berakibat selain semakin rusaknya lingkungan pesisir laut, sumber daya perikanannya juga akan semakin berkurang, padahal jumlah nelayan justru terus bertambah banyak.

2. Pembinaan dan penyuluhan yang diberikan kepada nelayan harus disesuaikan dengan kebutuhan sehingga apa yang disuluhkan benar-benar bermanfaat dan bisa diaplikasikan. Hal ini sangat penting untuk lebih meningkatkan kemampuan dan kemandirian nelayan.

3. Selain pengetahuan praktis seperti penanganan pascapanen dan pengolahan hasil laut hal yang tidak kalah penting dalam memberdayakan nelayan. Khususnya anak-anak dan generasi muda adalah perlunya pemerintah mendirikan sekolah-sekolah di lingkungan tempat tinggal nelayan sehingga mereka tetap dapat mengikuti pelajaran di sekolah sebagaimana anak-anak seusia mereka lainnya.

Hal ini bisa dilakukan dengan melibatkan instansi terkait lainnya seperti Kementerian Pendidikan Nasional yang membangun sekolah dan membuat kurikulum. Sementara Kementerian Perikanan dan Kelautan atau instansi terkait lain ikut mengisi materi pelajaran sesuai kebutuhan anak didik nelayan yang bersifat teknis.

Tentunya program belajar di sini juga memberikan materi-materi tsaqofah Islam kepada nelayan agar para nelayan memiliki kepribadian Islam sehingga nelayan akan selalu meningkatkan keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT. Kalau saja upaya pemberdayaan di atas dapat dilakukan maka program wajib belajar dengan berbasis keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT di lingkungan nelayan pun bisa tercapai.

Di sisi lain harapan akan adanya peningkatan kesejahteraan dan kemampuan nelayan pun akan semakin nyata. Jika saja peningkatan kemampuan sumber daya manusia nelayan ini bisa dilaksanakan melalui program yang baik, konsisten, dan berkesinambungan diharapkan dalam waktu tidak terlalu lama para nelayan tradisional yang serba kekurangan bisa naik kelas menjadi nelayan modern seperti yang diharapkan.

Andi Perdana Gumilang
Pengamat Perikanan bidang studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan IPB.
[Continue reading...]

CNG Untuk Nelayan Bemasalah

- 0 komentar



Jakarta - Setelah lebih dari setahun dijanjikan, tanggal 28 Mei 2011 sebanyak 250 dari 500 nelayan Lekok, Pasuruan yang dijanjikan akan mendapat tabung CNG dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Bahan bakar perahu nelayan pengganti solar ini rencananya diberikan Menteri KKP, Fadel Mohammad secara simbolis di Pelabuhan Perikanan Lekok. Diharapkan penggunaan Compressed Natural Gas (CNG) ini akan mengurangi biaya operasional melaut nelayan. Benarkah demikian? Jawabnya belum tentu.

Memang benar tabungnya diberikan secara gratis, akan tetapi nelayan tetap harus membeli gas seharga Rp 3.250 per liter lebih murah dari solar. Akan tetapi hal ini diragukan sebab harga tersebut berlaku di stasiun pengisian CBG di Pandaan.

Diperkirakan sampai di Lekok yang belum dilengkapi tempat pengisian CNG harganya minimal Rp 4 ribu per liter, berarti pemerintah harus memberi subsidi biaya angkut agar nelayan Lekok dapat menikmati gas seharga Rp 3.250 per liter.

"Jika harganya empat ribu rupiah, lebih baik pakai solar saja tanpa resiko," kata Mulkan salah seorang Nelayan Lekok.

Kemudian siapakah yang akan menanggung biaya subsidi tersebut, KKP, Pemprov Jatim, Kabupaten Pasuruan atau pengusaha tabung gas?

Hal lain yang perlu dicermati adalah BBG masuk dalam katagori bahan berbahaya yang harus mendapat ijin dari ADPEL jika diangkut dalam kapal atau perahu. Entah apakah hal ini sudah dibicarakan KKP dengan ADPEL? Sebab hal ini akan menjadi masalah dikemudian hari.

Bisa saja nelayan ditangkap ketika sedang melaut karena membawa tabung gas tanpa ijin. Atau jika terjadi insiden tabung meledak di tengah laut pihak ADPEL harus bertanggung jawab.

Terlepas dari persoalan di atas, keinginan dan upaya pemerintah meringankan beban masyarakat nelayan patut diapresiasi. Hanya saja selama ini bantuan dari pemerintah umumnya tidak tepat sasaran.

Banyak contoh, antara lain pengadaan 1000 kapal 30 GT bermesin marine engine yang tidak terbiasa bagi nelayan tradisional. Perahu Jalinkesra seharga Rp 2,5 juta belum dipotong pajak dan keuntungan pengusaha, diketahui kemudian bermasalah, tenggelam atau dijual mesinnya karena nelayan tidak berani nenggunakannnya.

Adapula program Minapolitan yang kemudian tersandung SDI sehingga pemerintah yang semula melarang impor ikan, terpaksa mengijinkan dan melegalkan impor ikan terlarang dengan alasan untuk memenuhi pasokan industri pengolahan ikan.

Sekedar mengingatkan program CNG untuk nelayan Lekok pernah diprotes nelayan setempat ketika berlangsung acara sosialisasi di Pendopo Kabupaten Pasuruan beberapa waktu lalu, salam bahari

*Penulis adalah Direktur Regional Economic Maritime Institute
[Continue reading...]

Ditebus Rp 18 Juta, Nelayan Belawan Dibebaskan Perompak

- 0 komentar

Zaini (Khairul/detikcom) Medan - Kasus pembajakan kapal dengan motif meminta tebusan terus terjadi di perairan Selat Malaka. Dalam kasus terakhir, seorang nelayan asal Belawan disandera beberapa hari dan baru dibebaskan setelah ditebus Rp 18 juta.

Muhammad Zaini (53) menyatakan, dirinya dibebaskan setelah tebusan diterima pihak penyandera. Kasus penyanderaan yang dialaminya, juga bukan kasus yang pertama.

"Sudah dua kali saya disandera, karena memang seperti itulah situasinya di sini, banyak kapal yang dirampok," kata Muhammad Zaini kepada wartawan di Belawan, Medan, Sumatera Utara (Sumut), Senin (4/7/2011).

Penyanderaan yang dialami Zaini terjadi pada Rabu (29/6) dan baru dibebaskan pada Sabtu (3/7). Hal itu bermula ketika Kapal Motor (KM) Sumber Utama yang membawa 29 Anak Buah Kapal (ABK) sedang melaut pada Rabu dinihari di kawasan Selat Malaka yang berjarak sekitar 49 mil laut dari Belawan.

Mendadak kapalnya didekati perahu bermotor. Kemudian tiga orang naik ke kapal dengan membawa granat nenas sebagai senjata. Zaini yang merupakan nakhoda kapal tersebut, kemudian dibawa turun ke perahu yang dijaga satu orang pelaku. Seterusnya dia dibawa ke kawasan Langsa, Aceh dengan berpindah perahu dua kali.

Di daratan, dia dititipkan di satu rumah warga yang menggunakan terdengar menggunakan bahasa Aceh. "Selama masa penyanderaan itu, saya diperlakukan dengan baik. Diberi makan, tidak diperlakukan dengan kasar. Mereka semua menggunakan bahasa Aceh," tukas Zaini.

Proses pembebasan Zaini dilakukan setelah pembayaran dilakukan. Fandy yang merupakan putra Zaini dan juga salah satu ABK KM Sumber Utama menjeput Zaini di Langsa, Aceh. Seterusnya dari Langsa Zaini kembali ke Medan dengan penumpang bus PMTOH.

Menurut Zaini, kasus perompakan kapal yang dialaminya juga banyak dialami nelayan lainnya. Namun hal itu tidak banyak dibicarakan karena memang tidak ada solusi juga. Kasus-kasus tersebut kerap terjadi, dan pembebasan dilakukan setelah tebusan diberikan.

"Bulan lalu, kapal saya juga didatangi perompak, setelah mengambil peralatan kemudian mereka pergi. Baru sekali ini saya disandera. Tapi tidak mengapa, memang begitu pekerjaan saya. Sore ini juga mau berangkat melaut lagi," kata Zaini.

(rul/fay)
[Continue reading...]

Topan Nesat Renggut 35 Nyawa di Filipina, 45 Orang Hilang foto

- 0 komentar

Manila - Korban jiwa akibat topan Nesat di Filipina terus bertambah. Sejauh ini sudah 35 orang yang meninggal akibat topan yang menerjang dua hari lalu tersebut. Jumlah korban tersebut kemungkinan akan terus bertambah mengingat puluhan orang lainnya hingga kini belum ditemukan.

Topan Nesat telah menimbulkan banjir di sejumlah daerah di Filipina. Hingga saat ini, banyak daerah yang masih terendam banjir meski di beberapa tempat, banjir mulai surut. Operasi penyelamatan korban banjir pun terus berlangsung.

"Kami telah mencatat 35 kematian dan para penyelamat sedang menggunakan kapal-kapal dan perahu untuk menolong mereka yang berada di daerah-daerah yang masih terendam banjir," kata pejabat Kantor Pertahanan Sipil Filipina Benito Ramos kepada kantor berita AFP, Kamis (29/9/2011).

Dikatakan Ramos, para tentara, polisi dan personel lainnya bekerja tiada henti untuk membantu mereka yang terkena dampak topan Nesat. Hingga saat ini sebanyak 45 orang belum ditemukan.

"Kami cuma berdoa bahwa kami akan menemukan mereka selamat, namun jika bicara realistis, jumlah kematian masih bisa bertambah," ujar Ramos.

Menurut Ramos, kebanyakan korban yang hilang adalah para nelayan yang tetap nekat pergi melaut meski telah adanya peringatan untuk tidak berlayar.

Nesat menerjang Pulau Luzon, Fipina pada Selasa, 27 September lalu dan menimbulkan hujan deras dan angin kencang hingga menyebabkan badai dan banjir luas. Topan Nesat hari ini mulai menerjang Hong Kong dan menyebabkan sekolah-sekolah dan gedung-gedung pemerintah ditutup.
[Continue reading...]
 
Copyright © . Info Perikanan - Posts · Comments
Theme Template by BTDesigner · Powered by Blogger