1. Alat Tangkap Purse Seine
Purse seine tergolong dalam alat tangkap jaring lingkar dengan menggunakan tali kerut (purse line) yang
terletak di bagian bawah jaring. Dengan adanya tali kerut memungkinkan
jaring ditutup seperti pundi-pundi terbalik dan mengurung ikan yang
tertangkap. Pukat cincin dapat berukuran sangat besar dan dioperasikan oleh satu atau dua buah kapal. Biasanya purse seine dioperasikan oleh satu kapal dengan atau tanpa bantuan kapal pembantu (Nedelec, 2000).
Menurut Subani dan Barus (1989), purse seine
biasa disebut juga dengan jaring kantong karena bentuk jaring tersebut
waktu dioperasikan menyerupai kantong. Pukat cincin kadang-kadang juga
disebut jaring kolor karena pada bagian bawah jaring (tali ris bawah)
dilengkapi dengan tali kolor yang gunanya untuk menyatukan bagian bawah
jaring sewaktu operasi dengan cara menarik tali kolor tersebut. Pukat
cincin digunakan untuk menangkap ikan yang bergerombol (scholling) di permukaan laut. Oleh karena itu, jenis-jenis ikan yang tertangkap dengan alat tangkap purse seine
adalah jenis-jenis ikan pelagis yang hidupnya bergerombol seperti
layang, lemuru, kembung, sardinella, tuna. Ikan-ikan yang tertangkap
dengan purse seine dikarenakan gerombolan ikan tersebut
dikurung oleh jaring sehingga pergerakannya terhalang oleh jaring dari
dua arah, baik pergerakan ke samping maupun ke arah dalam.
Bagian-bagian jaring purse seine
terdiri atas jaring utama (sayap, badan dan kantong), selvedge, tali
ris atas, tali pelampung, pelampung, tali ris bawah, pemberat, tali
ring, ring/cincin dan tali kolor. Berdasarkan bentuk jaring utama, purse seine dibagi menjadi 3, yaitu bentuk segi empat, bentuk trapesium dan bentuk lekuk. Pada umumnya penangkapan ikan dengan purse seine dilakukan pada malam hari, akan tetapi ada juga purse seine yang dioperasikan pada siang hari. Pengumpulan ikan pada area penangkapan pukat cincin ada yang menggunakan rumpon dan ada pula yang menggunakan lampu. Umumnya setting
(penurunan) dilakukan dua kali selama satu malam operasi, yang
dilakukan pada waktu senja hari dan pagi hari/fajar, kecuali dalam
keadaan tertentu frekuensi penangkapan bisa dikurangi atau ditambah
(Sudirman dan Mallawa, 2004).
Ukuran
pukat cincin yang digunakan oleh setiap nelayan umumnya berbeda-beda.
Yang dimaksud dengan ukuran umum ini adalah ukuran-ukuran yang
berhubungan dengan perbandingan antara panjang dan dalamnya jaring serta
nomor-nomor bahan yang dipergunakan. Berbagai macam faktor yang
berpengaruh terhadap perbandingan ukuran pada pukat cincin adalah ukuran
kapal (panjang dan lebar) yang digunakan, jenis ikan-ikan yang akan
tertangkap dan waktu pengoperasian. Pukat cincin yang dioperasikan pada
malam hari dengan menggunakan alat bantu cahaya memiliki ukuran panjang
lebih kecil bila dibandingkan dengan purse seine pada siang hari. Oleh
karena itu, terdapat penggolongan purse seine dalam skala kecil, sedang dan besar. Hal ini mempengaruhi trip penangkapan purse seine di laut, dimana pengoperasian mini purse seine relatif lebih pendek trip penangkapannya bila dibandingkan dengan medium atau large purse seine (Sudirman dan Mallawa, 2004).
2. Perikanan Lampu ( Light Fishing )
Tertariknya
ikan pada cahaya sering disebutkan karena terjadinya peristiwa
fototaxis. Cahaya merangsang ikan dan menarik ikan untuk berkumpul pada
sumber cahaya tersebut atau juga disebutkan karena adanya rangsangan
cahaya, ikan kemudian memberikan responnya. Peristiwa ini dimanfaatkan
dalam penangkapan ikan yang umumnya disebut light fishing atau
dari segi lain dapat juga dikatakan memanfaatkan salah satu tingkah laku
ikan untuk menangkap ikan itu sendiri. Dapat juga dikatakan bahwa dalam
light fishing, penangkap ikan tidak seluruhnya memaksakan
keinginannya secara paksa untuk menangkap ikan tetapi menyalurkan
keinginan ikan sesuai dengan nalurinya untuk ditangkap. Fungsi cahaya
dalam penangkapan ikan ini ialah untuk mengumpulkan ikan sampai pada
suatu catchable area tertentu, lalu penangkapan dilakukan dengan alat jaring ataupun pancing dan alat-alat lainnya (Sudirman dan Mallawa, 2004).
Penggunaan
lampu untuk penangkapan ikan di Indonesia dewasa ini telah sangat
berkembang, sehingga di tempat-tempat yang terdapat kegiatan perikanan
laut, hampir dapat dipastikan terdapat lampu yang digunakan untuk usaha
penangkapan ikan. Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian
batas optimum kekuatan intensitas cahaya telah menjadi salah satu pokok
bagian dari penelitian para ahli biologi laut kelautan. Ayodhyoa (1981)
mengatakan agar light fishing dapat memberikan daya guna yang maksimal, maka diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :
ô Mampu mengumpulkan ikan yang berada pada jarak jauh, baik secara horisontal maupun vertikal.
ô Ikan-ikan tersebut diupayakan berkumpul ke sekitar sumber cahaya.
ô Setelah
ikan terkumpul, hendaklah ikan-ikan tersebut tetap senang berada dalam
area sumber cahaya pada suatu jangka waktu tertentu ( minimum sampai
saat alat tangkap mulai beroperasi ).
ô Pada
saat ikan-ikan tersebut berkumpul di sekitar sumber cahaya, diupayakan
semaksimal mungkin agar ikan-ikan tersebut tidak melarikan diri ataupun
menyebarkan diri.
Dilihat
dari tempat penggunaannya dapat dibedakan antara lain lampu yang
dipergunakan di atas permukaan air dan lampu yang dipergunakan di dalam
air. Menurut Ayodhyoa (1976) perbandingan antara lampu yang
dipasang di atas permukaan air dengan lampu yang digunakan di bawah
permukaan air adalah sebagai berikut :
a. Lampu yang dinyalakan di atas permukaan air :
1. Memerlukan waktu yang lebih lama untuk menarik ikan berkumpul.
2. Kurang
efisien dalam penggunaan cahaya, karena sebagian cahaya akan diserap
oleh udara, terpantul oleh permukaan gelombang yang berubah-ubah dan
diserap oleh air sebelum sampai kesuatu kedalaman yang dimaksud dimana swiming layer ikan tersebut berada.
3. Diperlukan
waktu yang lama supaya ikan dapat naik ke permukaan air dan dalam masa
penerangan, ikan-ikan tersebut kemungkinan akan berserak.
4. Setelah
ikan-ikan berkumpul karena tertarik oleh sumber cahaya dan berada di
permukaan, sulit untuk menjaga ikan tetap tenang, karena pantulan cahaya
pada permukaan air yang terus bergerak.
b. Lampu yang dinyalakan di bawah permukaan air :
1. Waktu yang diperlukan untuk mengumpulkan ikan lebih sedikit.
2. Cahaya
yang digunakan lebih efisien, cahaya tidak ada yang memantul ataupun
diserap oleh udara, dengan kata lain cahaya dapat dipergunakan hampir
seluruhnya.
3. Ikan-ikan
yang bergerak menuju sumber cahaya dan berkumpul, lebih tenang dan
tidak berserakan, sehingga kemungkinan ikan yang tertangkap lebih
banyak.
Struktur
lampu di dalam air sangat berbeda dengan lampu-lampu biasa yang
digunakan di atas permukaan air. Penetrasi cahaya pada perairan sangat
bergantung sekali terhadap kondisi perairan itu sendiri dan yang paling
menentukan adalah warna laut dan tingkat transparansi air. Warna laut
dalam hal ini berhubungan dengan jenis warna lampu yang dipancarkan dari
lampu itu sendiri. Warna lampu yang sinarnya dapat menembus kedalaman
tertinggi tentunya adalah warna lampu yang sejenis dengan warna perairan
pada waktu itu dan juga tergantung pada kondisi perairannya. Semakin
besar tingkat transparansi perairan semakin besar pula tingkat kedalaman
penetrasi sumber cahaya. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa warna
cahaya yang baik digunakan pada light fishing adalah biru, kuning dan merah (Sudirman dan Mallawa, 2004).
3. Kuat Dan Kemampuan Penglihatan Ikan Dalam Air
Cahaya
yang masuk ke dalam air akan mengalami pereduksian yang jauh lebih
besar bila dibandingkan dalam udara. Hal tersebut terutama disebabkan
adanya penyerapan dan perubahan cahaya menjadi berbagai bentuk energi,
sehingga cahaya tersebut akan cepat sekali tereduksi sejalan dengan
semakin dalam suatu perairan. Pembalikan dan pemancaran cahaya yang
disebabkan oleh berbagai partikel dalam air, keadaan cuaca dan gelombang
banyak memberikan andil pada pereduksian cahaya yang diterima air
tersebut. Dengan demikian daya penglihatan ikan banyak dipengaruhi oleh
faktor-faktor tersebut (Gunarso, 1985).
Kemampuan
mengindera dari mata ikan memungkinkan untuk dapat melihat pada hampir
ke seluruh bagian dari lingkungan sekelilingnya. Hanya suatu daerah
sempit pada bagian sebelah belakang ikan yang tidak dapat dicakup oleh
luasnya area yang dapat dilihat oleh ikan, daerah sempit ini dikenal
sebagai “dead zone.” Sedangkan untuk jarak penglihatan,
tidak hanya tergantung pada sifat indera penglihat saja, tetapi juga
pada keadaan penglihatan di dalam air. Pada kejernihan yang
baik dan terang maka jarak penglihatan untuk benda-benda yang kecil
tergantung pada kemampuan jelasnya penglihatan mata, misalkan pada jarak
dimana titik-titik yang letaknya bersekatan, dapat dibedakan sebagai
dua titik dan tidak sebagai satu titik ataupun kabur kelihatannya. Dalam
keadaan tertentu, beberapa jenis ikan yang berukuran besar mempunyai
kemampuan untuk bisa melihat benda-benda yang agak besar dan berwarna
kontras dengan latar belakangnya pada jarak beberapa puluh meter. Anak-anak ikan mempunyai daya penglihatan yang sangat dekat. Seekor anak ikan atherina berukuran 2 cm dapat membedakan benda-benda pada jarak 20 cm, sedangkan yang berukuran 0,8
cm hanya mampu membedakannya pada jarak 6-8 cm. Dalam keadaan perairan
yang keruh, kemampuan daya penglihatan ikan pada suatu objek yang
terdapat di dalam air akan sangat jauh berkurang. Namun tidaklah
mengherankan beberapa jenis ikan mampu mempertahankan hidupnya ketika
mata ikan tersebut menjadi buta (Gunarso, 1985).
Berbagai
jenis ikan yang banyak dijumpai pada lapisan air yang relatif dangkal,
banyak menerima cahaya matahari pada waktu siang hari dan pada umumnya
ikan-ikan yang hidup di daerah tersebut mampu membedakan warna sama
halnya dengan manusia sedangkan beberapa jenis ikan yang hidup di laut
dalam, dimana tidak semua jenis cahaya dapat menembus, maka banyak
diantara ikan-ikan tersebut tidak dapat membedakan warna atau buta
warna. Ketajaman warna yang dapat dilihat oleh mata ikan juga merupakan
hal penting. Pada kenyataannya, sesuatu yang mampu diindera oleh mata
ikan memungkinkan ikan tersebut untuk dapat membedakan benda-benda
dengan ukuran tertentu dari suatu jarak yang cukup jauh. Semakin kabur
tampaknya suatu benda bagi mata ikan, maka hal tersebut menyatakan bahwa
kemampuan mata ikan untuk menangkap kekontrasan benda terhadap latar
belakangnya semakin berkurang (Gunarso, 1985).
Ikan
sebagaimana jenis hewan lainnya mempunyai kemampuan yang mengagumkan
untuk dapat melihat pada waktu siang hari yang berkekuatan penerangan
beberapa ribu lux hingga pada keadaan yang hampir gelap sekalipun.
Struktur retina mata ikan yang berisi reseptor dari indera penglihat
sangat bervariasi untuk jenis ikan yang berbeda. Pada ikan teleostei
memiliki jenis retina duplek, dengan pengertian bahwa dalam retina ikan
tersebut terdapat dua jenis reseptor yang dinamakan rod dan kon. Pada
umumnya terjadi distribusi yang berbeda dari kedua jenis reseptor
tersebut, yang biasanya erat hubungannya dengan pemanfaatan indera
penglihatan ikan dalam lingkungan hidupnya. Untuk berbagai jenis ikan
pelagis sebagaimana dijumpai pada berbagai jenis ikan dari keluarga
Clupeidae, ikan-ikan tersebut memiliki pengkonsentrasian kon yang sangat
padat pada area antara ventro-temporal yang dibatasi oleh “area
temporalis”. Pada Sardinops caerulea dan Alosa sapidissimn,
area temporalis tersebut sangat jelas dan bahkan pada jenis ikan ini
reseptor hampir seluruhnya hanya terdiri dari kon saja, rod hampir tidak
ada atau tidak ada sama sekali (Gunarso, 1985).
Jenis
ikan yang aktif pada siang hari, umumnya mempunyai kon yang tersusun
dalam bentuk barisan ataupun dalam bentuk empat persegi. Pada umumnya
ikan-ikan yang memiliki kon dalam bentuk seperti ini adalah jenis ikan
yang intensif sekali menggunakan indera penglihatnya, biasanya ikan-ikan
tersebut termasuk dalam jenis ikan yang aktif memburu mangsa. Untuk
jenis-jenis ikan yang aktif pada malam hari atau jenis ikan yang hidup
pada lapisan dalam, banyaknya kon sangat kurang atau tidak ada sama
sekali dan kedudukan kon tersebut digantikan oleh rod (Gunarso, 1985).
Retina
dengan seluruh reseptornya terdiri dari rod banyak dijumpai pada
jenis-jenis ikan bertulang rawan, walau beberapa diantaranya masih
dijumpai adanya kon pada retina mata ikan-ikan tersebut. Retina yang
keseluruhannya terdiri dari rod juga banyak dijumpai pada berbagai ikan
teleostei yang hidup di laut dalam. Hasil penghitungan banyaknya rod
pada beberapa jenis ikan laut dalam, menunjukkan jumlah yang lebih dari
25 juta rod/mm retina. Hal ini menunjukkan bahwa mata jenis
ikan laut demersallah yang mempunyai tingkat sensitifitas tertinggi.
Ikan-ikan pelagis yang memangsa makanannya yang berupa plankton, pada
umumnya jenis ikan ini mempunyai distribusi kon yang sangat padat pada
bagian ventro-temporal yang menunjukkan kemampuan untuk melihat kedepan
dan ke arah atas. Sedangkan jenis ikan pelagis yang berasal dari
perairan yang cukup dalam biasanya justru mempunyai retina yang
seluruhnya dipenuhi oleh rod saja dan bentuk mata ikan-ikan tersebut
cukup besar. Diantara jenis ikan demersal yang biasanya memburu mangsa,
memiliki retina yang kaya akan kon pada bagian temporal, tapi terjadi
perbedaan yang mencolok sehubungan jumlah kon pada bagian-bagian retina
yang lain, seperti halnya pada jenis predator pelagis yang mempunyai
kemampuan melihat arah lurus ke depan. Contoh untuk jenis ikan ini
antara lain adalah Cod, Coalfish dan keluarga Labridae (Gunarso, 1985).
4. Respon Ikan Pelagis Terhadap Cahaya
Cahaya
dengan segala aspek yang dikandungnya seperti intensitas, sudut
penyebaran, polarisasi, komposisi spektralnya, arah, panjang gelombang
dan lama penyinaran, kesemuanya akan mempengaruhi baik secara langsung
maupun tidak langsung terhadap tingkah laku dan fisiologi ikan pelagis.
Ikan mempunyai respon terhadap rangsangan yang disebabkan oleh cahaya,
meskipun besarnya kekuatan cahaya tersebut berkisar antara
0,01-0,001 lux, dimana hal ini bergantung pada kemampuan suatu jenis
ikan untuk beradaptasi (Laevastu dan Hayes, 1991). Hasil pengamatan
dengan echosounder dapat diketahui bahwa suatu lampu yang oleh mata
manusia hanya mampu diindera oleh manusia sampai kedalaman 15 m saja,
ternyata mampu memikat ikan sampai kedalaman 28 m. Ikan juga mempunyai
daya penglihatan yang cukup baik dalam hal membedakan warna. Dari
sejumlah percobaan yang telah dilakukan, ternyata ikan sangat peka
terhadap sinar yang datang dari arah dorsal tubuhnya. Ikan ternyata
tidak menyukai cahaya yang datang dari arah bawah tubuhnya (ventral) dan
bila keadaannya tidak memungkinkan untuk turun ke lapisan air yang
lebih dalam lagi, dalam usaha untuk menghindari posisinya semula,
ikan-ikan tersebut akan menyebar ke arah horisontal (Gunarso, 1985).
Ada
jenis ikan yang bersifat fototaxis positif, yaitu bahwa ikan akan
bergerak ke arah sumber cahaya karena rasa tertariknya, sebaliknya
beberapa jenis ikan bersifat fototaxis negatif yang memberikan respon
dan tindakan yang sebaliknya dengan yang bersifat fototaxis
positif. Karena adanya sifat fototaxis positif ini, maka ada beberapa
jenis ikan ekonomis penting yang dapat dipikat dengan cahaya buatan pada
malam hari. Bagi beberapa ikan bahwa adanya cahaya juga merupakan
indikasi adanya makanan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ikan yang
dalam keadaan lapar akan lebih mudah terpikat oleh adanya cahaya
daripada ikan yang dalam keadaan tidak lapar. Bahkan adakalanya
ikan-ikan tersebut akan muncul ke permukaan, ke arah cahaya dengan
tiba-tiba walaupun mungkin setelah selang beberapa menit ikan akan
menyebar dan meninggalkan tempat tersebut. Respon ikan muda terhadap
rangsangan cahaya adalah lebih besar daripada respon ikan dewasa dan
setiap jenis ikan mempunyai intensitas cahaya optimum dalam melakukan
aktifitasnya (Gunarso, 1985).
Daerah penerangan dimana ikan memberikan respon terhadap cahaya disebut daerah phototaxis. Di luar batas daerah phototaxis ini respon ikan terhadap cahaya tidak ada, karena kuat penerangannya sudah lemah. Semakin besar daerah phototaxis ini semakin banyak ikan yang terkumpul dan semakin banyak pula ikan yang tertangkap dekat dengan sumber cahaya (Fridman, 1969).
Terdapat
keseimbangan batas intensitas tertentu untuk suatu jenis ikan terhadap
intensitas cahaya yang ada. Jenis ikan teri memiliki variasi yang jelas
tentang pergerakan renang ikan di kedalaman tertentu pada waktu siang
hari. Jenis ikan ini akan berenang atau berada lebih dekat ke permukaan
pada waktu pagi dan sore hari bila dibandingkan pada saat tengah hari.
Diantara berbagai jenis ikan yang benar-benar phototaxis positif antara
lain adalah jenis sardinella, layang, selar dan ikan herring muda (Gunarso, 1985).
Richardson (1952) dalam Laevastu dan Hella (1970), menyatakan bahwa salah satu jenis ikan sardin yang dikenal sebagai ikan Pilchard dapat dipikat dengan menggunakan cahaya lampu pada waktu malam hari. Selain itu, kedalaman kelompok ikan herring dapat juga ditentukan berdasarkan intensitas cahaya. Ikan herring dewasa tidak bersifat phototaxis
positif karena ikan tersebut lebih menyukai daerah yang berintensitas
cahaya rendah. Namun demikian, ikan ini dapat juga tertarik pada cahaya
buatan pada waktu malam bila saja cahaya yang dipakai tidak begitu kuat.
Pada
umumnya ikan pelagis akan muncul ke lapisan permukaan sebelum matahari
terbenam dan biasanya ikan-ikan tersebut akan membentuk kelompok.
Sesudah matahari terbenam, ikan-ikan tersebut menyebar ke dalam kolom
air dan mencari lapisan yang lebih dalam, sedangkan ikan demersal
biasanya menyebar ke dalam kolom air selama malam hari. Dengan
mengetahui ruaya ikan secara vertikal harian suatu jenis ikan, maka
waktu untuk melakukan pengoperasian alat penangkapan dapat ditentukan.
Selain itu kemungkinan berhasilnya penangkapan dengan bantuan sinar
lampu akan lebih besar. Penangkapan dengan bantuan lampu akan lebih
efektif sebelum tengah malam dan hal ini menunjukkan adanya
kecenderungan bahwa fototaxis yang maksimal bagi ikan adalah pada
waktu-waktu tersebut (Laevastu dan Hella, 1970).
Cahaya yang masuk ke dalam air laut akan mengalami refraction atau pembiasan, penyerapan (absorption), penyebaran (scattering), pemantulan (reflection) dan lain-lain (Ayodhyoa, 1981). Cahaya
lebih jelas terlihat pada keadaan air yang jernih daripada air yang
telah menjadi keruh dan meyebabkan cahaya menjadi melemah atau bahkan
hilang sama sekali. Pengukuran cahaya dapat digambarkan sebagai berikut:
E = F / A , E = I / R2
E = Kuat penerangan (Lux)
F = Flux cahaya (lumen)
A = Luas sebaran cahaya (m2)
I = Intensitas cahaya (candela)
R = Radius penerangan (meter)
Dimana
kuat penerangan E (lux) sebanding dengan Intensitas Cahaya I (candela )
dan berbanding terbalik dengan radius penerangan (meter). Kuat
penerangan berkurang dengan bertambahnya kuadrat jarak sumber cahaya dan
intensitas cahaya berkurang dengan cepat dari jarak sumber cahaya pada
medium yang berbeda. Kuat penerangan ini erat hubungan
dengan tingkat sensitifitas penglihatan ikan, dengan kata lain bahwa
berkurangnya derajat penerangan akan menyebabkan berkurangnya jarak
penglihatan ikan. Jadi dengan berkurangnya kekuatan penerangan beberapa
puluh lux saja, maka jarak penglihatan ikan terhadap objek akan menurun
pula. Jarak penglihatan ikan juga tergantung pada ukuran objek itu
sendiri (Fridman, 1969).
5. Karakteristik Dan Tingkah Laku Ikan Pelagis Yang Dominan Tertangkap
Pada Purse Seine
Purse
seine adalah alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis
yang membentuk gerombolan dan berada dekat dengan permukaan air. Sasaran
penangkapannya adalah ikan-ikan pelagis seperti ikan kembung, selar,
tetengkek, tembang.
1. Ikan kembung
Ikan kembung yang tertangkap di perairan Indonesia rata-rata terdiri atas dua spesies, yaitu kembung perempuan (Rastrelliger negletus) dan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta). Kedua
ikan kembung tersebut mempunyai sifat dan ciri-ciri yang berbeda. Kedua
ikan kembung tersebut termasuk dalam famili Scombridae, yaitu jenis
ikan yang suka hidup bergerombol. Ikan kembung merupakan ikan pelagis yang memakan plankton halus. Badan tidak begitu langsing, tetapi pendek dan gepeng. Tubuh
bagian atas berwarna kehijauan dan putih perak pada bagian bawah,
terdapat totol-totol hitam pada bagian punggung, sirip punggung pertama
kuning keabuan dengan pinggiran gelap. Perut dan sirip dada
berwarna kuning maya gelap dan sirip lainnya berwarna kekuningan. Ikan
kembung ini memiliki finlet berjumlah 5-7, ukuran tubuhnya mencapai
15-30 cm. Ikan kembung biasanya hidup lebih mendekati pantai dan
membentuk gerombolan besar. Daerah penyebarannya di perairan pantai
Indonesia dengan konsentrasi terbesar di Kalimantan, Sumatera Barat,
Laut Jawa dan Selat Malaka (Anonymous, 1975).
Ikan
kembung cenderung berenang mendekati permukaan air pada waktu malam
hari dan pada siang hari turun ke lapisan yang lebih dalam. Gerakan
vertikal ini dipengaruhi oleh gerakan harian plankton dan mengikuti
perubahan suhu, faktor hidrografis dan salinitas. Damanhuri (1980) menyatakan bahwa umumnya sifat dari ikan kembung adalah :
ü Termasuk ikan pelagis yang daerahnya penyebarannya luas.
ü Selalu hidup bergerombol, dapat berenang dengan cepat yang ditandai dengan bentuk tubuh yang stream line dan menyukai makanan berupa ikan-ikan kecil/plankton hewani.
ü Reproduksinya adalah ovoparus yaitu telur dibuahi diluar tubuh ikan dan telurnya bersifat planktonis.
2. Ikan selar
Ada dua jenis ikan selar yang dominan tertangkap di perairan Indonesia, yaitu selar kuning (Selaroides leptolepis) dan selar bentong (Selar crumenophthalmus).
Mempunyai bentuk badan agak lebar dan memanjang, matanya besar,
terdapat 2 duri di muka sirip dubur. Pada bagian ekor terdapat scute,
sirip dada berbentuk meruncing ke ujungnya seperti bulan sabit. Berwarna
biru kehijau-hijauan pada bagian punggung dan putih keperak-perakan di
bagian perut. Sebagian mempunyai garis sisi yang berwarna kuning yang dimulai dari belakang mata sampai ke ujung ekor. Daerah penyebaran ikan selar terdapat hampir di seluruh perairan Indonesia (Anonymous, 1975).
3. Ikan tembang
Ikan tembang (Sardinella fimbriata) memiliki
ciri-ciri morfologi: bentuk badan bulat memanjang, terdapat ventral
scute yang dimulai dari bawah pangkal sirip dada sampai dubur. Sirip
punggung terletak di tengah-tengah antara moncong dan ekor. Warna
punggung hijau sedangkan warna perut keperak-perakkan, terdapat sabuk
kuning membujur badan. Panjang badan umumnya kira-kira 14 cm. Habitat
ikan tembang adalah di sepanjang perairan pantai dan merupakan spesies
permukaan. (Anonymous, 1975).
4. Ikan tetengkek
Ikan tetengkek atau dalam bahasa latinnya disebut Megalaspis cordyla
merupakan ikan pelagis yang terdapat hampir di seluruh perairan pantai
Indonesia. Bentuk badannya seperti torpedo, mempunyai 6-9 sirip tambahan
di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Terdapat scute yang panjang
di sepanjang gurat sisi (linea lateralis). Ekornya keras berbentuk
langsing dan bercabang dalam, mempunyai 2 duri di muka sirip dubur. Pada
tutup insang terdapat noda hitam, sedangkan warna tubuh bagian atas
hitam kehijauan dan di bagian bawah tubuh berwarna putih keperakan. Alat
tangkap yang sering digunakan untuk menangkap ikan tetengkek antara
lain gill net, payang, muroami dan purse seine (Anonymous, 1975).
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 1975. Standard Statistik Perikanan. Buku I. Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Anonymous. 2002. Profil Departemen Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Ayodhyoa. 1976. Teknik Penangkapan Ikan. Bagian Teknik Penangkapan Ikan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ayodhyoa. 1981. Metode Penangkapan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.
Damanhuri. 1980. Diktat Fishing Ground. Bagian Teknik Penangkapan Ikan. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang.
Effendi, M.I. 1979. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Tama. Yogyakarta.
Fridman, A.L. 1969. Theory And Design Of Commercial Fishing Gear. Israel Program For Scientific Translation. Jerusalem.
Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan Dalam Hubungannya Dengan Alat, Metoda Dan Taktik Penangkapan. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.
Hidayat, S. dan Sedarmayanti. 2002. Metodologi Penelitian. Mandar Maju. Bandung.
Laevastu, T. and I. Hella. 1970. Fisheries Oceanography. Fishing News (Books) Ltd. London.
Laevastu, T. and M.L. Hayes. 1991. Fisheries Oceanography and Ecology. Fishing News. Farnham.
Muhammad, S. 1991. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian dan Rancangan Percobaan. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang.
Mitsugi, S. 1974. Fish Lamps. Japanese Fishing Gear and Methods Textbook for Marine Fisheries Research Course. Japan.
Nedelec, C. 2000. Definisi Dan Klasifikasi Alat Tangkap Ikan.
Published by Arrangement with the Food and Agriculture Organization of
The United Nation. Diterjemahkan oleh Bagian Proyek Pengembangan Teknik
Penangkapan Ikan Semarang. Balai Pengembangan Penangkapan Ikan.
Semarang.