Minggu, 09 Oktober 2011

Hari Nelayan yang Terlupakan




Jakarta - Seluruh perhatian bangsa Indonesia saat ini sedang tersedot dalam agenda besar pemilu. Tentunya agenda ini memang harus menjadi fokus perhatian kita. Namun, di tengah hiruk pikuknya Pemilu 2009 ini ada satu hari penting bagi nelayan Indonesia.

Seiring dengan waktu mungkin hanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang tahu bahwa tanggal 6 April adalah Hari Nelayan Nasional. Entahlah. Hari nasional ini masih diakui atau tidak. Namun, jika kita buka di wikipedia tentang hari nasional maka akan muncul deretan hari nasional yang salah satunya hari nelayan.

Tak bisa dipungkiri di tengah potensi besar lautan justru kantong-kantong kemiskinan banyak terletak di pemukiman nelayan. Memang banyak faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan baik secara alamiah, struktural, maupun kultural.

Secara alamiah laut memang sulit diprediksi. Gelombang tinggi, angin kencang atau badai, serta rusaknya alam membuat hasil tangkapan semakin sedikit. Di satu sisi masyarakat nelayan mempunyai kelemahan secara struktural. Kemampuan modal yang lemah, manajemen rendah, kelembagaan yang lemah, di bawah cengkeraman tengkulak, dan keterbatasan teknologi.

Kondisi kultural juga bisa mendorong nelayan semakin terjun ke jurang kemiskinan. Kekayaan alam yang besar sering meninabobokan kita semua. Ketergantungan pada sumber daya laut mengakibatkan terjadi kepasrahan, dan ini berakibat tidak adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).

Budaya negatif seperti hidup boros terkadang juga masih melekat pada diri nelayan. Terlepas dari itu semua kita perlu mencermati sebuah potensi besar pada diri nelayan. Tidak bisa dipungkiri dalam diri nelayan terdapat jiwa-jiwa pemberani dan kerja keras.

Bayangkan saja berhari-hari menerjang ganasnya ombak selalu mereka lalui dengan taruhan nyawa. Kerja keras mereka seakan tidak tertandingi. Berangkat malam-malam pulang pagi atau sebaliknya berangkat pagi pulang malam-pun mereka kerjakan. Jika nelayan seorang pemalas saya rasa mereka tidak akan mampu melakukan hal tersebut.

Untuk itu kita berharap nelayan mampu memanfaatkan kekuatan tersebut sehingga menjadikan mereka meningkat kualitas hidup dan kesejahteraannya. Belajar dari sejarah sebenarnya nelayan kita telah memiliki kemampuan yang handal dalam menaklukkan lautan.

Teknologi tradisional dahulu telah terbukti dan mampu digunakan sebagai sarana menangkap ikan. Kita dahulu mengenal patokan bintang (rasi bintang) yang dijadikan nelayan pijakan arah melaut. Namun, banyak nelayan sekarang yang mulai melupakan.

Nelayan muda cenderung melupakan teknologi tradisional dengan alasan modernisasi alat lebih penting. Padahal modernisasi tidak selamanya baik. Justru lebih baik jika modernisasi alat diperpadukan teknologi tradisional yang telah melekat turun temurun di masyarakat nelayan.

Permasalahan yang muncul sekarang adalah modernisasi alat tangkap hanya dikuasai oleh nelayan berduit (tengkulak) atau pengusaha. Sehingga, terjadi ketimpangan terhadap nelayan kecil. Pengusaha besar dengan alat tangkap kapasitas besar mampu mengeruk ikan lebih banyak di perairan lepas. Sedangkan nelayan kecil hanya menangkap ikan di pinggiran yang ikannya sudah habis.

Kita perlu kemitraan antara nelayan besar dengan nelayan kecil dengan sistem
yang adil dalam memadukan teknologi penangkapan modern dan tradisional. Bukan sistem tengkulak yang terus menjerat kemiskinan nelayan.

Permasalahan yang lebih kompleks bagi nelayan Indonesia adalah mereka terpusat di pantai utara (pantura) maupun selatan Jawa. Jumlah nelayan di pantura sendiri telah mencapai 1,5 juta orang. Kondisi ini memaksa hasil tangkapan rata-rata setiap nelayan di pantura hanya tiga kilogram per hari. Dengan patokan harga Rp 5,000/ kg maka sehari nelayan hanya mendapat Rp 15,000. Ini belum termasuk ongkos beli solar maupun sewa kapal. Padahal, idealnya 20 kilo gram per hari dengan jumlah nelayan maksimal 500.000 orang.

Di lain sisi lautan Indonesia ini sangat luas sekali. Dari Sabang sampai Merauke. Nelayan dengan peralatan sederhana tidak bisa menjamah daerah yang ikannya banyak di sisi luar pulau-pulau Indonesia. Justru kapal asing berbendera Indonesia dengan peralatan yang canggih terus mencuri kekayaan ikan kita.

Program relokasi atau bahasa kerennya pada masa Orde Baru yaitu transmigrasi harus dijalankan terstruktur dan berkesinambungan. Kita masih perlu belajar dari Presiden kedua Soeharto yang sukses menjalankan program transmigrasi. Dalam program transmigrasi yang terpenting adalah perpaduan yang serasi antara pendatang dan penduduk asli.

Kita ibaratkan nelayan pendatang adalah kaum Muhajirin dan penduduk asli Anshar. Walau kita berbeda suku, agama, maupun ras, bukannya kita masih satu bendera atas nama Indonesia?

Jika relokasi nelayan ini berhasil maka ada beberapa manfaat yang kita dapatkan. Terutama peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka karena mendapatkan tangkapan yang lebih. Di sisi lain ini mengurangi keterbatasan armada Angkatan Laut dalam pengamanan lintas luar perbatasan. Nelayan dengan sendirinya mampu menjadi benteng pengamanan bagi bangsanya sendiri.

Aktivitas kehidupan nelayan tidak sesempit yang kita bayangkan. Mereka tidak hanya menangkap ikan di laut. Namun, rantai kehidupan nelayan masih banyak seperti nelayan pengolah, pembudidaya, pedagang, maupun aktivitas jasa lainnya. Mata pencaharian lain yang produktif perlu terus digalakkan.

Pengurangan jumlah nelayan tangkap bisa didorong jika mereka mempunyai mata pencaharian lain yang lebih menjanjikan. Konsep keseimbangan alam dengan produktivitas perikanan harus terus dijaga. Ikan juga membutuhkan waktu bertelur, memijah, dan berkembang besar. Jika eksploitasi penangkapan terus dilakukan secara berlebihan tentunya nelayan sendiri yang akan merugi. Ikan semakin langka dan pergi entah ke mana.

Gemar Makan Ikan
Membantu kesejahteraan nelayan Indonesia bukanlah suatu hal yang susah. Salah satu usaha yang mudah dilakukan masyarakat untuk menaikkan taraf hidup nelayan adalah gemar makan ikan.

Kita sudah cukup tahu tentang kasiat ikan dan kandungan gizinya yang cukup tinggi. Ikan juga diyakini dapat membuat manusia hidup lebih lama. Namun, sebagai negara kaya ikan kondisi ini justru sebaliknya.

Konsumsi ikan nasional sampai saat ini baru mencapai 26 kg/ orang setahun. Berdasarkan data tingkat konsumsi ikan penduduk Indonesia ini masih di bawah standar Food Agricultural Organization (FAO). Sebesar 30 kilo gram per kapita per tahun. Tingkat konsumsi ikan di negara maju pun sangat jauh meninggalkan Indonesia. Sebagai contoh konsumsi ikan Jepang (110 kg/ kapita/ tahun), Korea Selatan (85 kg/ kapita/ tahun), Malaysia (45 kg/ kapita/ tahun) dan Thailand (35 kg/ kapita/ tahun).

Dengan tingkat konsumsi ikan yang tinggi tentunya akan memacu produktivitas ikan yang tinggi juga. Ini akan semakin memacu nelayan untuk berimprovisasi menaikkan produktivitasnya seperti kegiatan budi daya perikanan.

Memang cukup ironis sekali masyarakat kita justru lebih suka makan daging darat dibandingkan ikan. Namun, budaya gemar makan ikan masih terus bisa ditingkatkan. Salah satunya melalui pendidikan sejak dini.

Dulu ketika kecil kita mengenal kegiatan 'Posyandu' atau bahkan di sekolah-sekolah tingkat dasar kita diperkenalkan gerakan makan 4 sehat 5 sempurna. Sekiranya kegiatan ini terus dilakukan untuk menciptakan pemahaman secara dini tentang perlunya makan ikan dalam menciptakan tubuh yang sehat.

Budaya dapat terekam jika dilakukan sejak kecil, terus menerus, dan adanya contoh dari orang tua. Sekali lagi gemar makan ikan tidak hanya membuat tubuh kita sehat. Tetapi, ikut serta membuat nelayan semakin bahagia.

Anton Setyo Nugroho
Saga International House B-621 Sagashi Honjomachi 489-1
Saga - Japan
dkp_anton@yahoo.com
+819094969401

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © . Info Perikanan - Posts · Comments
Theme Template by BTDesigner · Powered by Blogger