Penangkapan ikan ilegal telah menjadi momok yang meresahkan bagi
Indonesia selama bertahun-tahun. Kegiatan itu bukan hanya merugikan
negara secara finansial, tetapi juga menurunkan produktivitas dan hasil
tangkapan secara signifikan. Namun, upaya penanganan penangkapan ikan
ilegal hingga kini masih diwarnai sejumlah hambatan.
Kendala itu tidak hanya dirasakan Indonesia, melainkan juga negara-negara kawasan ASEAN dan sekitarnya.
Direktur
Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan
(P2SDKP) Aji Sularso mengatakan, Indonesia sebagai negara perairan
terbesar di Asia Tenggara paling banyak dirugikan akibat kegiatan
penangkapan ikan ilegal.
”Indonesia dihadapkan pada dua persoalan
mendasar. Wilayah perairan kita banyak dicuri sehingga produktivitas
perikanan terus merosot. Namun, beberapa nelayan kita juga mencuri di
perairan negara lain, seperti Australia,” papar Aji.
Beberapa
kawasan perairan Indonesia yang rawan terhadap pencurian ikan antara
lain Laut Arafura, perairan Natuna, dan perairan utara Sulawesi Utara.
Kapal-kapal asing yang melanggar itu sebagian besar merupakan kapal asal
China, Thailand, Vietnam, dan Filipina.
Kapal ikan ilegal yang
ditangkap tahun lalu sebanyak 184 dari 2.207 kapal ikan yang diperiksa.
Dari jumlah kapal yang ditangkap itu, 89 kapal di antaranya berbendera
asing, sedangkan 95 kapal berbendera Indonesia. Kerugian negara yang
dapat diselamatkan mencapai Rp 439,6 miliar.
Penangkapan ikan
ilegal itu tidak hanya merugikan perekonomian, melainkan juga mengancam
kelestarian sumber daya perikanan dan kelautan. Selain itu, kapal ikan
asing yang ilegal ikut memanfaatkan subsidi bahan bakar minyak dan
membayar pungutan perikanan dengan tarif kapal Indonesia.
Pengawasan perairan
Data
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengasumsikan, volume penangkapan
ikan ilegal mencapai seperempat dari jumlah total penangkapan ikan
dunia.
Sejak 2007, Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah
Australia untuk kegiatan pengawasan perairan. Operasi pengawasan
dilakukan di Laut Arafura dengan menggunakan kapal Hiu Macan.
Meski
pemerintah telah mendorong peningkatan pengawasan perairan dan
penangkapan kapal ikan ilegal, hal itu tetap belum mampu mengimbangi
maraknya laju pencurian ikan.
Setiap tahun kapal yang diduga mencuri ikan mencapai 1.000 kapal, dengan asumsi kerugian mencapai Rp 30 triliun.
Manajer
Northern International Fisheries Department of Agriculture, Fisheries,
and Forestry Australia, Peter Cassells, mengatakan, pencurian ikan lebih
banyak dilakukan kapal-kapal besar ketimbang kapal nelayan tradisional.
Karena itu, diperlukan pencegahan sejak proses perizinan, dan penegakan
hukum secara optimal.
Sekretaris Dirjen P2SDKP Purwanto
menyebutkan, ada dua modus pelanggaran yang kerap digunakan kapal ikan
asing ilegal di perairan Indonesia, yaitu menggunakan kapal berbendera
asing dengan memalsukan dokumen perizinan.
Cara lainnya, mengganti
bendera asal negara dengan bendera Indonesia guna mengelabui petugas.
Karena itu diperlukan kerja sama lintas negara dalam mengatasi persoalan
penangkapan ikan ilegal.
Sejumlah 11 negara ASEAN dan sekitarnya,
meliputi Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Filipina, Malaysia,
Singapura, Thailand, Australia, Papua Niugini, Vietnam, dan Timor Leste,
sebenarnya telah merintis konsep bersama (Regional Plan of Action/RPOA)
untuk penangkapan ikan yang bertanggung jawab, termasuk memberantas
pencurian ikan di tingkat regional.
Dalam rumusan RPOA itu
disepakati upaya kolektif untuk mengawasi perairan dan mencegah
penangkapan ikan ilegal. Salah satu butir implementasi RPOA adalah
peningkatan pengawasan perikanan atau monitoring control and
surveillance (MSC).
Kontribusi yang disepakati setiap negara dalam
menerapkan MSC antara lain bertukar informasi tentang kapal-kapal
ilegal, data, serta dukungan teknologi antarnegara.
Selain itu,
tindak lanjut pengawasan di tingkat regional melalui kerja sama
bilateral dan subregional. Namun, belakangan muncul pesimisme terhadap
keberhasilan program tersebut.
Dalam pertemuan keempat mengenai
implementasi RPOA di Nusa Dua, Bali, Selasa (4/3), beberapa negara
menyatakan masih sulit untuk menerapkan MSC. Delegasi Kamboja untuk
Administrasi Perikanan, Pich Sereywath, mengatakan, pihaknya kesulitan
menyelenggarakan manajemen perikanan karena masih rendahnya kesadaran
masyarakat.
Mereka juga kesulitan dalam melakukan pengawasan
internal terhadap penangkapan ikan ilegal karena membutuhkan biaya
tinggi. Selain itu, hambatan birokrasi. ”Tidak mungkin gagasan RPOA itu
diterapkan sepenuhnya, apalagi masih sulit mengakses data dari negara
lain,” ujar Sereywath.
Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2008/03/05/01585680
0 komentar:
Posting Komentar